Vino G Bastian dalam Wiro Sableng (lifelike pictures)
Vino G Bastian dalam Wiro Sableng (lifelike pictures)

Wiro Sableng, Angin Segar untuk Sinema Laga Indonesia

Purba Wirastama • 01 September 2018 11:20
DALAM sekian menit pertama prolog yang gagah, kita langsung tahu asal-usul mendasar, bagaimana Wiro Saksana kecil menjadi pendekar dengan julukan Wiro Sableng. Dialog-dialog pendek dan efisien, segar bagi yang familiar dengan novel asli atau serial televisinya, tetapi juga cukup jelas bagi yang asing dengan kisah Wiro dan eyang gurunya Sinto Gendeng.
 
Berikutnya, penonton dituntun mengikuti perjalanan Wiro menemui Mahesa Birawa, bekas murid Sinto yang membelot ke golongan hitam. Sang guru meminta Wiro meringkus Mahesa untuk membawa dia kembali ke Gunung Gede. Sementara itu, Kerajaan sedang menghadapi masa sulit karena ancaman pemberontakan.
 
"Penciptaan" Wiro adalah upaya guru menciptakan keseimbangan. Sinto pernah mencipta pendekar jahat, lalu menebusnya dengan mendidik pendekar baik. Sama halnya dengan ajaran 212 dari sang guru kepada Wiro, bahwa segala hal punya dua kutub, tetapi bersumber dan kembali kepada yang satu. Secara keseluruhan, film ini adalah kisah klasik baik versus jahat. Namun secara spesifik, film mengikuti perjalanan Wiro bertemu dengan penggalan masa lalu, sebelum melangkah lebih jauh. 

Wiro Sableng, Angin Segar untuk Sinema Laga Indonesia
Vino Bastian dan Ruth Marini dalam Wiro Sableng (lifelike pictures)
 
Ruth Marini dengan sangat bagus telah menjelma menjadi Sinto Gendeng dengan kerut-keriput kulit dan wibawa guru sakti. Tawanya menunjukkan getir hidup menyendiri. Duet akting Ruth bersama Vino G Bastian, yang memerankan tokoh sentral Wiro Sableng, adalah kolaborasi paling menarik disimak, termasuk pada bagian komedi. 
 
Belasan tokoh pendukung berbagi panggung dan muncul dalam waktu singkat tanpa pengenalan mendalam. Ini bisa dipahami karena sajian utama film ini adalah rangkuman cerita perjalanan Wiro. Jika ada film-film berikutnya, para tokoh pendukung punya karakter menarik dan potensi diperdalam, terutama asal-usulnya. Misalnya Permaisuri, yang dimainkan Marcella Zalianty nyaris tanpa dialog verbal, atau Bidadari Angin Timur versi Marsha Timothy, yang intensinya masih mengundang tanya hingga akhir. 
 
Para tokoh punya gaya bertarung masing-masing yang menyatu dengan desain kostum yang unik. Keragaman ini menjadi penanda bahwa semesta fiksi yang dihidupi Wiro adalah dunia yang sangat luas. Fokus film ini memang meletakkan dasar semesta luas tersebut. Dari 185 episode novel, film ini baru berpijak pada empat episode pertama. 
 
Selain desain produksi, koreografi, sinematografi, serta efek spesial dan visual yang mumpuni, aspek teknis lainnya terasa kurang berkesan. Unsur komedi tidak selalu segar, tetapi respons komedi tentu berbeda bagi setiap penonton.  
 
Setelah pembukaan yang gagah, perjalanan cerita di bagian tengah terasa kurang hidup. Namun pada penghujung cerita, kejemuan ini ditebus dengan rangkaian pertarungan yang memuaskan, pas sesuai tujuannya sebagai film dengan klasifikasi usia 13+. Aksi utama Yayan Ruhian tak perlu diragukan lagi. 
 
Kendati ada sejumlah hal yang tanggung, film Wiro Sableng adalah pengalaman sinematik baru dan menyenangkan, yang membuat kekurangannya masih sangat bisa diterima. Film ini adalah capaian baru dalam perfilman Indonesia, baik dari segi kreatif maupun nilai produksi. Sebagai film laga fantasi, sejauh ini mungkin Wiro Sableng yang terbaik. 
 
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (212 Warrior)
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Penulis naskah: Seno Gumira Ajidarma, Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon
Produser:  Sheila Timothy (Lifelike Pictures & Fox International Production)
Durasi: 123 menit
Rilis Indonesia: Kamis, 30 Agustus 2018
Klasifikasi LSF: 13+

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan