Hanung Bramantyo (Foto:Metrotvnews.com/Agustinus Shindu A)
Hanung Bramantyo (Foto:Metrotvnews.com/Agustinus Shindu A)

Dilema Hanung Besut Film Kartini

Agustinus Shindu Alpito • 15 Februari 2016 18:48
medcom.id, Jakarta: Sutradara Hanung Bramantyo akan menyutradarai film biopik Kartini. Film yang akan dibintangi Dian Sastrowardoyo itu cukup membuat Hanung putar otak.
 
Hanung berusaha menemukan formula yang tepat antara idealisme yang sesuai menurutnya, dengan kepentingan pasar.
 
"Saya suka film drama dan sejarah. Saya ingin banget bikin film Kartini, ingin saya treatment sebagaimana yang saya mau. Tetapi itu enggak bisa karena film itu investasi orang. Saya enggak bisa menjamin kalau investor mengikuti saya, maka akan laku filmnya. Karena di sini belum ada bioskop yang tidak berbudaya mal," jelas Hanung saat ditemui Metrotvnews.com, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Bioskop berbudaya mal" menurut Hanung sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter penonton film.
 
"Film harus mengikuti kultur mal. Orang kalau ke mal ramai-ramai, sama keluarga. Ketika saya bikin film kontroversial, kasihan anak-anak tidak bisa menonton (sehingga tidak menjadi pilihan). Ketika saya bikin film kritik sosial atau ada kekerasan sedikit, anak-anak juga tidak bisa menonton. Itu karena bioskop kebanyakan di mal. Coba seperti bioskop Kineforum yang ada di TIM (Taman Ismail Marzuki). Itu misal ada 100 layar saja, saya kan enak," jelas Hanung.
 
Meski dihadapkan dengan pilihan dilematis, pria yang juga membesut Talak 3 itu berupaya menggarap film Kartini dengan maksimal. Mengedepankan pendekatan berbasis riset.
 
"Proses riset cukup mendalam. Ada beberapa literatur. Kita dikawal betul sama keluarga (Kartini). Keluarganya cuma satu, jadi enggak ada konflik dengan yang lain. Anaknya sudah menunjuk sejarawannya siapa. Saya juga cari literatur tambahan. Kita keep in touch terus dengan Amsterdam, karena ada empat atau lima orang dari Amsterdam," urai Hanung.
 
Awalnya, suami Zaskia Adya Mecca itu ingin membuat film Kartini dengan dialog berbahasa Jawa. Tetapi niat itu urung dilakukan setelah membaca data dan karakter penonton Indonesia.
 
"Yang saya mau, film Kartini mendalam dan berbahasa Jawa, karena pada waktu itu belum ada Bahasa Indonesia. Melayu belum lahir. Terus saya hitung penonton kita seperti apa. Sebanyak 34 persen sesuai dengan riset IKJ, penonton film itu SMA dan S1. That's why film London Love Story laku," beber Hanung yang merasa penonton Indonesia belum siap menikmati film dengan kisah mendalam.
 
Sejauh ini, film Kartini masih dalam proses produksi. Selama dua tahun terakhir, Hanung cukup produktif di industri film baik sebagai sutradara atau produser.
 
Salah satu film yang diproduseri Hanung, Mencari Hilal, sempat mencuri perhatian berbagai festival dan penghargaan pada 2015.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan