YOUR FASHION
JF3 Talk 2025 Vol.1: Mengulik Tantangan Terbesar Industri Fesyen Tanah Air
Yuni Yuli Yanti
Selasa 13 Mei 2025 / 07:00
Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor produk tekstil ke Indonesia mengalami peningkatan pada 2024, baik volume maupun nilainya, yakni sebanyak 2,19 juta ton produk tekstil dengan nilai mencapai US$8,94 miliar. Volume tersebut naik 12 persen dibandingkan tahun 2023, sedangkan nilainya bertumbuh 7 persen secara tahunan.
Produk tekstil yang dimaksud antara lain sutra, wol, filamen, karpet, kapas, serat tekstil, serat stapel, kain tenun, kain rajutan, pakaian rajutan, hingga pakaian non-rajutan, termasuk ke dalamnya pakaian bekas.
Menurut BPS, penyumbang utama impor pakaian jadi tersebut adalah China, Vietnam dan Bangladesh. Masing-masing kontribusinya sebesar 10,48 persen dan 8,95 persen. Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku kreatif industri fesyen lokal.
Berdasarkan fenomena tersebut, JF3 kembali menggelar JF3 Talk Vol. 1, yaitu sebuah diskusi yang menyoroti perkembangan industri fesyen tanah air, pada Rabu (7/5/2025), di Teras Lakon, Summarecon, Serpong, Tangerang.
Di awal diskusi, para desainer dan pelaku kreatif mengungkapkan beberapa tantangan terbesar mereka dalam persaingan industri fashion saat ini. Astrela dari brand Bespoke menyampaikan perubahan tren yang sangat cepat kerap menjadi tantangan, karena industri dituntut untuk memahami keinginan pasar sambil tetap mempertahankan DNA brand.
Sementara, Laura Muljadi, pemilik brand Matahari dari Timur mengungkapkan bahwa tantangan terbesar mereka adalah ketimpangan akses pasar antara Jakarta dan daerah yang sama-sama sebagai pelaku fesyen namun memiliki sistem yang berbeda. "Para pengrajin kain Sumba di desa tidak mengenal tren, dan aspek ekonomi-sosial sangat terasa terutama ketika dikaitkan dengan isu sustainability," tuturnya.
Senada dengan hal itu, Ayu Gani, pemiliki brand Batik Sulawesi mengaku keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan bahan baku kerap menjadi tantangan yang mereka hadapi. Menurutnya, Sulawesi selatan memiliki kekayaan motif, seperti aksara Lontara, namun belum berhasil dikenal secara nasional. Hingga saat ini, belum ada produsen batik yang secara konsisten mengangkat motif khas tersebut.
Selain itu, minimnya pengolahan limbah dan kesiapan SDM untuk mendukung produksi dalam skala besar juga menjadi tantangan bagi brand yang telah berjalan selama 15 tahun ini. Ayu menekankan pentingnya dukungan dan sorotan lebih besar terhadap brand-brand dari luar Jawa agar bisa bersaing dan dikenal luas.

(Para Desainer, Pelaku Industri, dan awak Media dalam diskusi JF3 Talk Vol. 1, Rabu (7/5/2025), di Teras Lakon, Serpong. Foto: Dok. JF3)
Dalam diskusi, beberapa awak Media pun turut menyuarakan pendapatnya mengenai tantangan narasi dalam industru fesyen saat ini. Hilmy Faiq, dari Harian Kompas menyampaikan terdapat kesenjangan antara narator dan konsumen.
"Barang bagus sering tidak laku karena makna yang dikandungnya tidak sampai ke konsumen. Selain itu, banyak pelaku industri hanya mengglorifikasi produk lama tanpa menjadikannya relevan dengan konteks kekinian," ujarnya.
Wisnubrata dari Kompas.com, melihat bahwa masyarakat cenderung memilih produk murah tanpa memahami maknanya, termasuk dalam hal tenun dan wastra. Menurutnya, banyak orang membeli tanpa tahu cerita di balik produk tersebut. Sehingga, konsumen dari semua kelas ekonomi lebih memilih fast fashion karena ketidaktahuan mereka akan nilai dari produk lokal.
"Banyak desainer juga belum siap dengan narasi yang kuat untuk mendukung produknya. Padahal, media tidak hanya mencari produk, tapi cerita yang menyentuh emosi. Narasi yang kuat tidak hanya disampaikan lewat media, tapi dari pengulangan yang konsisten oleh brand itu sendiri. Oleh karena itu, desain dan cerita harus berjalan beriringan, sehingga dapat meningkatkan nilai produk," jelasnya.
Sementara itu, Virginia Rusli dari Clara Indonesia mengatakan ketidakpahaman dari pihak pemerintah juga menjadi hambatan utama dalam pengembangan industri fashion tahan air.
"Tidak realistis jika terlalu menggantungkan harapan pada pemerintah; perlu dimulai dari gerakan langsung dari pelaku industri (grassroots). Penting untuk mengangkat figur-figur kompeten yang bisa menjadi penyambung kepentingan industri ke sektor publik," paparnya.
Menutup diskusi Thresia Mareta, Founder JF3 menegaskan komitmennya untuk terus berkembang dan terhubung secara internasional. Menurutnya, sangat penting konsistensi dan kolaborasi dalam membangun industri fashion Indonesia yang kuat dan berdaya saing global.
JF3 berharap seluruh pelaku industri dapat berperan aktif secara bersama-sama membangun ekosistem fashion Indonesia dengan semangat kolaborasi dan kualitas yang lebih matang.
"Ke depannya, JF3 akan semakin fokus untuk menjalin hubungan internasional demi mendukung kemajuan industri fashion lokal. Tahun ini, JF3 mengundang salah satu desainer dari Korea Selatan sebagai bagian dari kolaborasi dua arah, di mana tidak hanya mereka yang datang ke Indonesia, tetapi juga mengundang JF3 untuk hadir di Korea. Pada, JF3 Talk Vol.2 mendatang akan dihadiri oleh pihak pemerintahan dan JF3 Talk Vol.3 akan ada journalist workshop untuk para rekan-rekan media," tutup Thresia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(yyy)
Produk tekstil yang dimaksud antara lain sutra, wol, filamen, karpet, kapas, serat tekstil, serat stapel, kain tenun, kain rajutan, pakaian rajutan, hingga pakaian non-rajutan, termasuk ke dalamnya pakaian bekas.
Menurut BPS, penyumbang utama impor pakaian jadi tersebut adalah China, Vietnam dan Bangladesh. Masing-masing kontribusinya sebesar 10,48 persen dan 8,95 persen. Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku kreatif industri fesyen lokal.
Berdasarkan fenomena tersebut, JF3 kembali menggelar JF3 Talk Vol. 1, yaitu sebuah diskusi yang menyoroti perkembangan industri fesyen tanah air, pada Rabu (7/5/2025), di Teras Lakon, Summarecon, Serpong, Tangerang.
Di awal diskusi, para desainer dan pelaku kreatif mengungkapkan beberapa tantangan terbesar mereka dalam persaingan industri fashion saat ini. Astrela dari brand Bespoke menyampaikan perubahan tren yang sangat cepat kerap menjadi tantangan, karena industri dituntut untuk memahami keinginan pasar sambil tetap mempertahankan DNA brand.
Sementara, Laura Muljadi, pemilik brand Matahari dari Timur mengungkapkan bahwa tantangan terbesar mereka adalah ketimpangan akses pasar antara Jakarta dan daerah yang sama-sama sebagai pelaku fesyen namun memiliki sistem yang berbeda. "Para pengrajin kain Sumba di desa tidak mengenal tren, dan aspek ekonomi-sosial sangat terasa terutama ketika dikaitkan dengan isu sustainability," tuturnya.
Senada dengan hal itu, Ayu Gani, pemiliki brand Batik Sulawesi mengaku keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan bahan baku kerap menjadi tantangan yang mereka hadapi. Menurutnya, Sulawesi selatan memiliki kekayaan motif, seperti aksara Lontara, namun belum berhasil dikenal secara nasional. Hingga saat ini, belum ada produsen batik yang secara konsisten mengangkat motif khas tersebut.
Selain itu, minimnya pengolahan limbah dan kesiapan SDM untuk mendukung produksi dalam skala besar juga menjadi tantangan bagi brand yang telah berjalan selama 15 tahun ini. Ayu menekankan pentingnya dukungan dan sorotan lebih besar terhadap brand-brand dari luar Jawa agar bisa bersaing dan dikenal luas.

(Para Desainer, Pelaku Industri, dan awak Media dalam diskusi JF3 Talk Vol. 1, Rabu (7/5/2025), di Teras Lakon, Serpong. Foto: Dok. JF3)
Dalam diskusi, beberapa awak Media pun turut menyuarakan pendapatnya mengenai tantangan narasi dalam industru fesyen saat ini. Hilmy Faiq, dari Harian Kompas menyampaikan terdapat kesenjangan antara narator dan konsumen.
"Barang bagus sering tidak laku karena makna yang dikandungnya tidak sampai ke konsumen. Selain itu, banyak pelaku industri hanya mengglorifikasi produk lama tanpa menjadikannya relevan dengan konteks kekinian," ujarnya.
Wisnubrata dari Kompas.com, melihat bahwa masyarakat cenderung memilih produk murah tanpa memahami maknanya, termasuk dalam hal tenun dan wastra. Menurutnya, banyak orang membeli tanpa tahu cerita di balik produk tersebut. Sehingga, konsumen dari semua kelas ekonomi lebih memilih fast fashion karena ketidaktahuan mereka akan nilai dari produk lokal.
"Banyak desainer juga belum siap dengan narasi yang kuat untuk mendukung produknya. Padahal, media tidak hanya mencari produk, tapi cerita yang menyentuh emosi. Narasi yang kuat tidak hanya disampaikan lewat media, tapi dari pengulangan yang konsisten oleh brand itu sendiri. Oleh karena itu, desain dan cerita harus berjalan beriringan, sehingga dapat meningkatkan nilai produk," jelasnya.
Sementara itu, Virginia Rusli dari Clara Indonesia mengatakan ketidakpahaman dari pihak pemerintah juga menjadi hambatan utama dalam pengembangan industri fashion tahan air.
"Tidak realistis jika terlalu menggantungkan harapan pada pemerintah; perlu dimulai dari gerakan langsung dari pelaku industri (grassroots). Penting untuk mengangkat figur-figur kompeten yang bisa menjadi penyambung kepentingan industri ke sektor publik," paparnya.
Menutup diskusi Thresia Mareta, Founder JF3 menegaskan komitmennya untuk terus berkembang dan terhubung secara internasional. Menurutnya, sangat penting konsistensi dan kolaborasi dalam membangun industri fashion Indonesia yang kuat dan berdaya saing global.
JF3 berharap seluruh pelaku industri dapat berperan aktif secara bersama-sama membangun ekosistem fashion Indonesia dengan semangat kolaborasi dan kualitas yang lebih matang.
"Ke depannya, JF3 akan semakin fokus untuk menjalin hubungan internasional demi mendukung kemajuan industri fashion lokal. Tahun ini, JF3 mengundang salah satu desainer dari Korea Selatan sebagai bagian dari kolaborasi dua arah, di mana tidak hanya mereka yang datang ke Indonesia, tetapi juga mengundang JF3 untuk hadir di Korea. Pada, JF3 Talk Vol.2 mendatang akan dihadiri oleh pihak pemerintahan dan JF3 Talk Vol.3 akan ada journalist workshop untuk para rekan-rekan media," tutup Thresia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(yyy)