WISATA
Omah Mbudur, Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu Borobudur
A. Firdaus
Rabu 14 Juni 2023 / 12:13
Magelang: Magelang terkenal kental dengan Candi Borobudur. Namun di sisi lain, di kawasan ini tak hanya tentang Borobudur dan kemegahannya, melainkan ada tempat lain yang masih kental dengan filosofi Jawa seperti yang diperkenalkan Omah Mbudur.
Masih dalam rangka menerima undangan dari Parador Hotel & Resorts, melalui unit bisnisnya, Atria Magelang, saya berada di Omah Mbudur. Awal kaki berpijak, pikiran yang tersirat adalah ini adalah tempat souvenir atau hasil jualan para pengrajin. Nyatanya, lebih dari sekadar itu.
Omah Mbudur, kalau dilihat di Google Maps merupakan sebuah restoran yang hanya berjarak 3,2 km dari Candi Borobudur, atau 39 menit berjalan kaki. Omah Mbudur sendiri adalah sebuah restoran yang berada di Dusun jowahan, Dusun 3, Wanurejo, Kec. Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Namun jika dilihat bangunannya, justru seperti sebuah petilasan para pemahat. Bahkan ketika para media tiba, sambutan hangat dilakukan oleh si tuan rumah Omah Mbudur, yaitu Nuryanto. Ia menyambut tamu dengan memakai pakaian khas Jawa dan udeng sebagai mahkotanya dan memberikan welcome drink, serta bunga yang ia sisipkan di telinga tamu.
Pak Nur, begitu ia disapa, dengan santun dan ramah menyampaikan ihwal Omah Mbudur sebagai trip atau destinasi yang berfokus pada Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Menurutnya, dalam babad Borobudur, kawasan ini disebut Vanua Wana Mandra yang bermakna ‘Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu’. Menjadi tempat singgah para Jlogro atau pemahat.
"Saya ini termasuk masih pemahat, bapak juga, eyang juga. Dan, ini karya-karya saya. Sekaligus bukti bahwa di tempat ini dulunya petilasan para pemahat, ada prasastinya. Ditemukan di lubang-lubang itu," seraya menunjuk ke belakang dan ke bawah dirinya berdiri.
Salah satu prasasti yang ada di Omah Mbudur adalah arca dua penari yang usianya sama dengan Candi Borobudur, abad ke 7 atau 8. “Saya pun sudah ijin dari balai konservasi untuk memperlihatkan benda ini ke tamu, sebagai bukti sejarah,” ungkap Pak Nur.
Masih kata Pak Nur, kawasan ini merupakan hutan bambu. Menjadi tembang tepung gelang Candi Borobudur. Bahkan sampai saat ini Desa-nya masih ada namanya Brojonalan.
Kira-kira tembangnya seperti ini; ‘Brojonolo sun tingali, anak mbarep ing Mbekangan, ojo owah ing arane,’. Ngaran gunung Pademangan, itu pusat pemerintahan yang sekarang jadi Borobudur.
‘Gendingan wis keno. Jadi hidup harus selaras. Bokowanti kaliabon. Abon itu sari-sari yang digongso sampai jadi abon, Rojo kelon ing njligutan…’ Ini Namanya tepung gelang yang selalu dikisahkan dengan budaya tutur.
Jadi leluhur itu menuturkan tentang kisah-kisah Borobudur melalui tiga budaya yakni, Sandang, apa yang kita pakai, pakai batik ceplok ada yang batik kawung, itu gak bisa diplintir. Dipilih sandang supaya tidak diplintir dan pesan itu sampai.
Yang kedua Pangan, dan Papan. Papan ini seperti candi, rumah, joglo, limasan, artefak ada stupa, gambar relief, terpahat gajah katakana gajah.
"Terakhir yakni Nada, seperti gending, saat bunyi gong, katakana gong. Karena kata-kata bisa diplintir. Ini yang membuat leluhur kami memakai budaya tutur bentuk," urainya.
Sekarang ini tiga konsep tersebut sudah berubah, contoh, dalam kepemimpinannya budaya tutur, ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani.
Selain tiga filosofi budaya tersebut, leluhur pun mengajarkan bagaimana melayani dan menerima tamu dalam tiga filosofi yakni; Gupuh, tergopoh-gopoh menyambut tamu dan memberi sesuatu, selanjutnya Suguh, apa yang dimiliki disuguhkan dan terakhir Lungguh, ada narasi ketika duduk dan ngobrol.
"Jadi, dalam menyambut tamu itu tidak boleh dibiarkan, buka pintu sendiri, duduk sendiri dan ambil minum sendiri," pungkas Pak Nur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Masih dalam rangka menerima undangan dari Parador Hotel & Resorts, melalui unit bisnisnya, Atria Magelang, saya berada di Omah Mbudur. Awal kaki berpijak, pikiran yang tersirat adalah ini adalah tempat souvenir atau hasil jualan para pengrajin. Nyatanya, lebih dari sekadar itu.
Penyambutan bak hotel bintang 5
Omah Mbudur, kalau dilihat di Google Maps merupakan sebuah restoran yang hanya berjarak 3,2 km dari Candi Borobudur, atau 39 menit berjalan kaki. Omah Mbudur sendiri adalah sebuah restoran yang berada di Dusun jowahan, Dusun 3, Wanurejo, Kec. Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Namun jika dilihat bangunannya, justru seperti sebuah petilasan para pemahat. Bahkan ketika para media tiba, sambutan hangat dilakukan oleh si tuan rumah Omah Mbudur, yaitu Nuryanto. Ia menyambut tamu dengan memakai pakaian khas Jawa dan udeng sebagai mahkotanya dan memberikan welcome drink, serta bunga yang ia sisipkan di telinga tamu.
Pak Nur, begitu ia disapa, dengan santun dan ramah menyampaikan ihwal Omah Mbudur sebagai trip atau destinasi yang berfokus pada Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Menurutnya, dalam babad Borobudur, kawasan ini disebut Vanua Wana Mandra yang bermakna ‘Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu’. Menjadi tempat singgah para Jlogro atau pemahat.
"Saya ini termasuk masih pemahat, bapak juga, eyang juga. Dan, ini karya-karya saya. Sekaligus bukti bahwa di tempat ini dulunya petilasan para pemahat, ada prasastinya. Ditemukan di lubang-lubang itu," seraya menunjuk ke belakang dan ke bawah dirinya berdiri.
Prasasti seumuran Candi Borobudur
Salah satu prasasti yang ada di Omah Mbudur adalah arca dua penari yang usianya sama dengan Candi Borobudur, abad ke 7 atau 8. “Saya pun sudah ijin dari balai konservasi untuk memperlihatkan benda ini ke tamu, sebagai bukti sejarah,” ungkap Pak Nur.
Masih kata Pak Nur, kawasan ini merupakan hutan bambu. Menjadi tembang tepung gelang Candi Borobudur. Bahkan sampai saat ini Desa-nya masih ada namanya Brojonalan.
Kira-kira tembangnya seperti ini; ‘Brojonolo sun tingali, anak mbarep ing Mbekangan, ojo owah ing arane,’. Ngaran gunung Pademangan, itu pusat pemerintahan yang sekarang jadi Borobudur.
‘Gendingan wis keno. Jadi hidup harus selaras. Bokowanti kaliabon. Abon itu sari-sari yang digongso sampai jadi abon, Rojo kelon ing njligutan…’ Ini Namanya tepung gelang yang selalu dikisahkan dengan budaya tutur.
Filosofi menjamu tamu
Jadi leluhur itu menuturkan tentang kisah-kisah Borobudur melalui tiga budaya yakni, Sandang, apa yang kita pakai, pakai batik ceplok ada yang batik kawung, itu gak bisa diplintir. Dipilih sandang supaya tidak diplintir dan pesan itu sampai.
Yang kedua Pangan, dan Papan. Papan ini seperti candi, rumah, joglo, limasan, artefak ada stupa, gambar relief, terpahat gajah katakana gajah.
"Terakhir yakni Nada, seperti gending, saat bunyi gong, katakana gong. Karena kata-kata bisa diplintir. Ini yang membuat leluhur kami memakai budaya tutur bentuk," urainya.
Sekarang ini tiga konsep tersebut sudah berubah, contoh, dalam kepemimpinannya budaya tutur, ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani.
Selain tiga filosofi budaya tersebut, leluhur pun mengajarkan bagaimana melayani dan menerima tamu dalam tiga filosofi yakni; Gupuh, tergopoh-gopoh menyambut tamu dan memberi sesuatu, selanjutnya Suguh, apa yang dimiliki disuguhkan dan terakhir Lungguh, ada narasi ketika duduk dan ngobrol.
"Jadi, dalam menyambut tamu itu tidak boleh dibiarkan, buka pintu sendiri, duduk sendiri dan ambil minum sendiri," pungkas Pak Nur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)