KULINER
Jejak Pangan Nusantara: Dari Etno Pangan hingga Kolonialisme Kuliner
A. Firdaus
Sabtu 20 Desember 2025 / 10:10
Jakarta: Masyarakat semakin bergantung pada produk olahan, makanan instan dan bahan impor yang dianggap lebih praktis dan modern. Pergeseran ini tidak hanya mengurangi keragaman konsumsi tetapi juga memudarkan pengetahuan tradisional yang selama ini menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam dan budaya makan di setiap daerah.
Hilangnya kedekatan masyarakat dengan pangan lokal berpotensi melemahkan pola makan berimbang dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan cara hidup sehat. Padahal di balik pangan lokal terdapat pengetahuan dan manfaat yang kaya mulai dari praktik pengolahan, cara mengonsumsi hingga nilai sosial dan ekonomi yang membentuk identitas masyarakat.
Gastronomi, ilmu tentang pangan dan budaya, membawa kita menelusuri jejak pangan Nusantara melalui fase-fase etno pangan, mulai dari era pemburu-peramu hingga era digital saat ini.
“Etno pangan adalah pangan asli dari berbagai etnis di dunia, termasuk Indonesia yang kaya akan keragaman,” ujar Repa Kustipia, Research Director CS-IFA dalam acara Perspektif Melacak Jejak Pangan Nusantara di Menara Kompas Jakarta.
Dalam talkshow tersebut, Repa menguraikan fase-fase antropologi pangan: dari pemburu-peramu yang masih terlihat dalam tanaman seperti kolokasia esculenta (palas), lalu neolitik, fase hidrolik dengan irigasi besar, hingga kolonialisme yang mengubah sistem pangan melalui perdagangan rempah dan monopoli.
"Pangan Nusantara itu dari situ, tapi di fase kolonialism food system, pangan kita diobrak-abrik dengan akulturasi dari penjelajah," kata Repa.
Setelah kolonialisme, masuk revolusi industri yang memunculkan pangan seperti gandum dan beras, lalu modernisme yang memicu gerakan regenerative food sebagai protes terhadap sistem modern.
Repa menyoroti fenomena kukusan di Jakarta sebagai bentuk kritis terhadap modernisme, menuju techno food dan digital food economy di mana pangan Nusantara dinikmati via aplikasi online seperti nasi kuning atau sate Padang.
"Itu udah bentuk-bentuk cara kita menikmati pangan nusantara di masa kini, disebut current gastronomy," ujar Repa.
Trajektori etno pangan di Indonesia meliputi kerajaan, kolonial, tanam fakta, kultur sehasil, awal republik, Orde Baru, glokalisasi, hingga teknologi pangan.
Repa menyebut hukum seperti Putara Manawa Dharma Sastra di Majapahit, Perjanjian Saragosa, Swa Sembada, UU Pangan 2012, dan masuk WTO 1995 yang membawa stabilitas agraris, monopoli rempah, ekspor pangan lokal, modernisasi pertanian, dominasi beras, dan Novel Food sebagai pangan masa depan.
Pertanyaan menarik muncul tentang gandum yang tidak tumbuh di Indonesia dan berasal dari negara maju seperti Amerika dan Eropa.
Repa mengaitkan hal tersebut dengan kolonialisme, "Ketika kita makan gandum, makan roti, makan terigu, makan mie, itu seperti merayakan kolonialisme. Kita jadi merasa terjajah karena makanan-makanan itu berasal dari tempat-tempat yang bukan punya kita."
Selera makanan menurut Repa bukan hanya genetik, tapi juga struktur kekuasaan yang disebut gustratori dalam gastronomi atau kumpulan selera, pilihan politik, dan program dukungan. Ini terkait gastropolitik, kebijakan gastronomi yang memperjuangkan arah pangan lebih baik.
"Di Indonesia punya pangan spektakuler seperti nanas merah dari Sunda yang harganya Rp200 ribu per buah, atau salak endemik yang perlu indikasi geografis untuk dilindungi," tambahnya.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Hilangnya kedekatan masyarakat dengan pangan lokal berpotensi melemahkan pola makan berimbang dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan cara hidup sehat. Padahal di balik pangan lokal terdapat pengetahuan dan manfaat yang kaya mulai dari praktik pengolahan, cara mengonsumsi hingga nilai sosial dan ekonomi yang membentuk identitas masyarakat.
Gastronomi, ilmu tentang pangan dan budaya, membawa kita menelusuri jejak pangan Nusantara melalui fase-fase etno pangan, mulai dari era pemburu-peramu hingga era digital saat ini.
“Etno pangan adalah pangan asli dari berbagai etnis di dunia, termasuk Indonesia yang kaya akan keragaman,” ujar Repa Kustipia, Research Director CS-IFA dalam acara Perspektif Melacak Jejak Pangan Nusantara di Menara Kompas Jakarta.
Dalam talkshow tersebut, Repa menguraikan fase-fase antropologi pangan: dari pemburu-peramu yang masih terlihat dalam tanaman seperti kolokasia esculenta (palas), lalu neolitik, fase hidrolik dengan irigasi besar, hingga kolonialisme yang mengubah sistem pangan melalui perdagangan rempah dan monopoli.
"Pangan Nusantara itu dari situ, tapi di fase kolonialism food system, pangan kita diobrak-abrik dengan akulturasi dari penjelajah," kata Repa.
Setelah kolonialisme, masuk revolusi industri yang memunculkan pangan seperti gandum dan beras, lalu modernisme yang memicu gerakan regenerative food sebagai protes terhadap sistem modern.
Repa menyoroti fenomena kukusan di Jakarta sebagai bentuk kritis terhadap modernisme, menuju techno food dan digital food economy di mana pangan Nusantara dinikmati via aplikasi online seperti nasi kuning atau sate Padang.
"Itu udah bentuk-bentuk cara kita menikmati pangan nusantara di masa kini, disebut current gastronomy," ujar Repa.
Trajektori etno pangan di Indonesia meliputi kerajaan, kolonial, tanam fakta, kultur sehasil, awal republik, Orde Baru, glokalisasi, hingga teknologi pangan.
Repa menyebut hukum seperti Putara Manawa Dharma Sastra di Majapahit, Perjanjian Saragosa, Swa Sembada, UU Pangan 2012, dan masuk WTO 1995 yang membawa stabilitas agraris, monopoli rempah, ekspor pangan lokal, modernisasi pertanian, dominasi beras, dan Novel Food sebagai pangan masa depan.
Pertanyaan menarik muncul tentang gandum yang tidak tumbuh di Indonesia dan berasal dari negara maju seperti Amerika dan Eropa.
Repa mengaitkan hal tersebut dengan kolonialisme, "Ketika kita makan gandum, makan roti, makan terigu, makan mie, itu seperti merayakan kolonialisme. Kita jadi merasa terjajah karena makanan-makanan itu berasal dari tempat-tempat yang bukan punya kita."
Selera makanan menurut Repa bukan hanya genetik, tapi juga struktur kekuasaan yang disebut gustratori dalam gastronomi atau kumpulan selera, pilihan politik, dan program dukungan. Ini terkait gastropolitik, kebijakan gastronomi yang memperjuangkan arah pangan lebih baik.
"Di Indonesia punya pangan spektakuler seperti nanas merah dari Sunda yang harganya Rp200 ribu per buah, atau salak endemik yang perlu indikasi geografis untuk dilindungi," tambahnya.
Secillia Nur Hafifah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)