Jakarta: Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril ungkap beberapa tantangan yang dihadapi dalam melawan PPOK. Penyakit Paru Obstruksi Kronik atau disingkat sebagai PPOK adalah kondisi peradangan pada paru-paru yang berlangsung dalam jangka panjang.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi PPOK mencapai 3,7 persen. Sedangkan data dari Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK PDPI Edisi 2016 menyebutkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 5.6 persen, atau sekitar 8,5 juta jiwa.
Inisiatif Global untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (GOLD) 2023 memperkirakan angka prevalensi PPOK hingga 2060 akan terus meningkat. Sebab peningkatan jumlah orang yang merokok. Selain pengaruhnya pada kesehatan, PPOK juga mempunyai dampak signifikan terhadap ekonomi, baik akibat biaya perawatan atau karena hilangnya produktivitas pasien yang mencapai miliaran dolar setiap tahunnya.
PPOK saat ini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dengan beban ekonomi dan sosial yang substansial dan semakin meningkat. Hal-hal seperti edukasi masyarakat akan risiko PPOK, inovasi dalam deteksi dini PPOK, dan pengoptimalan tatalaksana PPOK menjadi semakin penting untuk mengatasi kasus PPOK.
"PPOK sejatinya dapat dicegah dan diobati, namun saat ini masih menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia, karena sebagian besar pasien tidak menyadari gejalanya, belum terdiagnosis dengan tepat, atau mendapatkan pengobatan yang belum optimal," kata dr. Mohammad Syahril saat ditemui di Jakarta, Senin, 29 Mei 2023.
Dengan adanya fakta tersebut, diperlukan deteksi PPOK lebih dini bagi masyarakat serta optimalisasi terapi untuk mencegah eksaserbasi dan rawat inap. Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan skrining dan diagnosis PPOK secara terintegrasi.
Skrining menjadi salah satu program prioritas dari Kemenkes. Namun, keterbatasan alat seperti spriometri menjadi kendala. Spirometri merupakan alat yang mendeteksi apakah seseorang mengidap PPOK atau tidak.
"Saat ini, skrining PPOK sudah menjadi program prioritas Kementerian Kesehatan RI, di mana keterbatasan modalitas spirometri merupakan salah satu kendala skrining dan diagnosis PPOK," lanjut dr. Mohammad Syahril.
Penyakit ini tentunya dapat memburuk jika tidak diatasi dengan baik. Perburukan PPOK umumnya berkembang secafa bertahap dan sering tidak terdiagnosis dengan optimal. Ditambah, sebenarnya pengidap kerap sulit untuk pergi ke fasilitas layanan kesehatan untuk mengobati diri.
"Pasien PPOK umumnya enggan mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga keadaan ini sukar ditangani akibat kondisi pasien yang terlanjur memburuk," kata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P (K).
Untuk mencegah perburukan, terutama telah mencapai eksaserbasi, diperlukan kesadaran bersama, baik itu tenaga kesehatan maupun pasien sendiri. Hal ini untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK, juga untuk mengawali pengobatan PPOK yang tepat lebih dini.
dr. Triya Damayanti, Sp.P(K), Ph.D menambahkan pentingnya edukasi PPOK berkelanjutan untuk masyarakat dan tenaga kesehatan. Hal ini diperuntukkan demi menjawab tantangan diagnosis dan penatalaksanaan PPOK.
Aulia Putriningtias
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi PPOK mencapai 3,7 persen. Sedangkan data dari Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK PDPI Edisi 2016 menyebutkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 5.6 persen, atau sekitar 8,5 juta jiwa.
Inisiatif Global untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (GOLD) 2023 memperkirakan angka prevalensi PPOK hingga 2060 akan terus meningkat. Sebab peningkatan jumlah orang yang merokok. Selain pengaruhnya pada kesehatan, PPOK juga mempunyai dampak signifikan terhadap ekonomi, baik akibat biaya perawatan atau karena hilangnya produktivitas pasien yang mencapai miliaran dolar setiap tahunnya.
PPOK saat ini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dengan beban ekonomi dan sosial yang substansial dan semakin meningkat. Hal-hal seperti edukasi masyarakat akan risiko PPOK, inovasi dalam deteksi dini PPOK, dan pengoptimalan tatalaksana PPOK menjadi semakin penting untuk mengatasi kasus PPOK.
"PPOK sejatinya dapat dicegah dan diobati, namun saat ini masih menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia, karena sebagian besar pasien tidak menyadari gejalanya, belum terdiagnosis dengan tepat, atau mendapatkan pengobatan yang belum optimal," kata dr. Mohammad Syahril saat ditemui di Jakarta, Senin, 29 Mei 2023.
Dengan adanya fakta tersebut, diperlukan deteksi PPOK lebih dini bagi masyarakat serta optimalisasi terapi untuk mencegah eksaserbasi dan rawat inap. Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan skrining dan diagnosis PPOK secara terintegrasi.
Skrining menjadi salah satu program prioritas dari Kemenkes. Namun, keterbatasan alat seperti spriometri menjadi kendala. Spirometri merupakan alat yang mendeteksi apakah seseorang mengidap PPOK atau tidak.
"Saat ini, skrining PPOK sudah menjadi program prioritas Kementerian Kesehatan RI, di mana keterbatasan modalitas spirometri merupakan salah satu kendala skrining dan diagnosis PPOK," lanjut dr. Mohammad Syahril.
Penyakit ini tentunya dapat memburuk jika tidak diatasi dengan baik. Perburukan PPOK umumnya berkembang secafa bertahap dan sering tidak terdiagnosis dengan optimal. Ditambah, sebenarnya pengidap kerap sulit untuk pergi ke fasilitas layanan kesehatan untuk mengobati diri.
"Pasien PPOK umumnya enggan mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga keadaan ini sukar ditangani akibat kondisi pasien yang terlanjur memburuk," kata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P (K).
Untuk mencegah perburukan, terutama telah mencapai eksaserbasi, diperlukan kesadaran bersama, baik itu tenaga kesehatan maupun pasien sendiri. Hal ini untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK, juga untuk mengawali pengobatan PPOK yang tepat lebih dini.
dr. Triya Damayanti, Sp.P(K), Ph.D menambahkan pentingnya edukasi PPOK berkelanjutan untuk masyarakat dan tenaga kesehatan. Hal ini diperuntukkan demi menjawab tantangan diagnosis dan penatalaksanaan PPOK.
Aulia Putriningtias
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)