FITNESS & HEALTH

Benang Merah Sindrom Badai Sitokin dan Covid-19

Sri Yanti Nainggolan
Minggu 22 Agustus 2021 / 14:42
Jakarta: Deddy Corbuzier menyatakan dirinya sempat mengalami kritis karena terkena penyakit badai sitokin setelah dirinya sembuh dari covid-19. Kedua penyakit ini memiliki hubungan dengan sistem kekebalan tubuh

Salah satu hal yang unik dari penyakit covid-19 adalah gejala yang beragam, dari tak ada hingga dapat menyebabkan kematian. Bahkan, kerusakan lebih parah bisa disebabkan oleh infeksi pada respons imun dibandingkan virus itu sendiri. 

Dilansir dari WebMD, pada banyak pasien covid-19 dengan gejala parah, darah mereka dipenuhi dengan protein sistem kekebalan tingkat tinggi yang disebut sitokin. 

Para ilmuwan percaya bahwa sitokin ini adalah bukti dari respons kekebalan yang disebut badai sitokin. Artinya, tubuh mulai menyerang sel-selnya sendiri dan jaringan daripada hanya melawan virus. 

Badai sitokin diketahui terjadi pada penyakit autoimun seperti radang sendi (arthritis) pada anak-anak. Gangguan ini juga terjadi pada jenis pengobatan kanker tertentu dan dapat dipicu oleh infeksi, seperti flu.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat apakah ada obat dan alat yang bisa yang menyerap sitokin, atau mencegah pelepasannya sehingga dapat mencegah kematian pasien covid-19.

Baca: Sebabkan Deddy Corbuzier Kritis, Apa Itu Sindrom Badai Sitokin?

Ahli virus dan imunologi di Georgia State University di Atlanta, Mukesh Kumar, mengungkapkan bahwa virus yang masuk akan menggandakan dirinya sendiri dengan sangat cepat setelah menginfeksi sel. "Itu banyak tekanan pada sel dalam waktu singkat," ucap Kumar.

Ia menjabarkan, ketika ada sel merasakan ada sesuatu yang asing, respons langsung dari sel adalah membunuh dirinya sendiri. "Ini adalah mekanisme perlindungan sehingga tidak menyebar ke sel lain," lanjut Kumar. 

Jenis sitokin tertentu memicu kematian sel. Ketika seseorang memiliki banyak sel yang melakukan ini pada saat yang bersamaan, banyak jaringan yang bisa mati.

Pada kasus covid-19, jaringan itu sebagian besar berada di paru-paru. Saat jaringan rusak, dinding kantung udara kecil paru-paru menjadi bocor dan terisi cairan. Akibatnya, terjadi pneumonia dan kekurangan oksigen dalam darah.

"Pada dasarnya, sebagian besar sel Anda akan mati karena badai sitokin. Itu menggerogoti paru-paru. Mereka tidak bisa pulih," tutur Kumar. 

Ketika paru-paru menjadi sangat rusak, sindrom gangguan pernapasan pun terjadi. Kemudian, organ lain mulai mengalami kegagalan. 

Kumar menyatakan jumlah sitokin yang diproduksi oleh sel, sebagai respons terhadap infeksi SARS-CoV-2, sekitar 50 kali lebih tinggi daripada sebagai respons terhadap infeksi virus Zika atau West Nile.

Para peneliti tidak yakin berapa persen pasien yang sakit parah akan meninggal karena badai sitokin. Peneliti juga masih mengkaji kenapa sejumlah orang yang terinfeksi mengalami reaksi ini sementara yang lain tidak. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(SUR)

MOST SEARCH