FITNESS & HEALTH
Beberapa Tantangan Penanganan Stroke di Indonesia
Raka Lestari
Kamis 28 Oktober 2021 / 19:39
Jakarta: Secara global, penyakit tidak menular (PTM) sudah membunuh 41 juta jiwa setiap tahunnya. Dan stroke merupakan salah satu PTM dengan jumlah kematian terbanyak. Bahkan berdasarkan data dari World Stroke Organization, terdapat 13,7 juta kasus stroke baru per tahunnya.
“Untuk prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2018 secara nasional terdapat 10,9 persen terjadi stroke di Indonesia,” kata dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, Plt Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan, dalam acara Media Briefing Hari Stroke Sedunia, pada Kamis, 28 Oktober 2021.
Ia menambahkan, “Kalau per provinsi, Kalimantan Timur paling tinggi dengan 14,7 persen dan Papua paling rendah dengan 4,1 persen. Prevalensi kelompok umur untuk stroke memang paling tinggi pada usia 75 tahun ke atas yaitu sebanayk 50,2 persen. Tetapi juga sudah mulai terjadi ada pada umur di atas 15 tahun yaitu 0,6 persen,“ kata dr. Elvieda.
Dengan demikian, dr. Elvieda menekankan bahwa bahwa semua umur di atas 15 tahun bisa berisiko terkena stroke. “Kemudian prevalensi antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Untuk laki-laki yaitu 11 persen dan perempuan 10,9 persen,” ujarnya.
.jpg)
(Menurut dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, Plt Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan, prevalensi stroke untuk yang tinggal di daerah kota lebih besar dari yang tinggal di desa. Foto: Ilustrasi/Pexels.com)
“Dan yang cukup menarik adalah prevalensi stroke untuk yang tinggal di daerah kota lebih besar dari yang tinggal di desa. Untuk yang tinggal di kota 12,6 persen dan yang di desa 8,8 persen. Ini tentu banyak hal yang memengaruhi, terutama pola hidup,” ujar dr. Elvieda.
Menurutnya, pada masyarakat perkotaan tentu lebih banyak tingkat stres. “Kemudian juga banyak macetnya sehingga mungkin aktivitas fisiknya berkurang dan pola makan sebagainya juga bisa menjadi salah satu faktor risiko,” tutur dr. Elvieda.
Untuk penanganan stroke di Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi tantangan diantaranya adalah:
- Deteksi dini faktor risiko belum optimal di masyarakat, hal ini tampak dari peningkatan prevalensi faktor risiko berdasarkan Riskesdas 2013 dan 2018 tampak peningkatan dan capaian skrining kesehatan usia produktif yang masih rendah.
- Masyarakat belum mengenali tanda-tanda dini serangan stroke sehingga penanganan kasus terlambat.
- Belum semua RS memiliki fasilitas dan tim penanganan pelayanan stroke terpadu.
“Dibutuhkan komitemen baik individu dan peran lintas sektor untuk perubahan perilaku yang revolusioner yang menerapkan budaya hidup sehat. Selain itu, deteksi dini faktor risiko secara teratur dan tindak lanjutnya dapat mencegah PTM termasuk stroke,” tutup dr. Elvieda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
“Untuk prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2018 secara nasional terdapat 10,9 persen terjadi stroke di Indonesia,” kata dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, Plt Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan, dalam acara Media Briefing Hari Stroke Sedunia, pada Kamis, 28 Oktober 2021.
Ia menambahkan, “Kalau per provinsi, Kalimantan Timur paling tinggi dengan 14,7 persen dan Papua paling rendah dengan 4,1 persen. Prevalensi kelompok umur untuk stroke memang paling tinggi pada usia 75 tahun ke atas yaitu sebanayk 50,2 persen. Tetapi juga sudah mulai terjadi ada pada umur di atas 15 tahun yaitu 0,6 persen,“ kata dr. Elvieda.
Dengan demikian, dr. Elvieda menekankan bahwa bahwa semua umur di atas 15 tahun bisa berisiko terkena stroke. “Kemudian prevalensi antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Untuk laki-laki yaitu 11 persen dan perempuan 10,9 persen,” ujarnya.
.jpg)
(Menurut dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, Plt Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan, prevalensi stroke untuk yang tinggal di daerah kota lebih besar dari yang tinggal di desa. Foto: Ilustrasi/Pexels.com)
“Dan yang cukup menarik adalah prevalensi stroke untuk yang tinggal di daerah kota lebih besar dari yang tinggal di desa. Untuk yang tinggal di kota 12,6 persen dan yang di desa 8,8 persen. Ini tentu banyak hal yang memengaruhi, terutama pola hidup,” ujar dr. Elvieda.
Menurutnya, pada masyarakat perkotaan tentu lebih banyak tingkat stres. “Kemudian juga banyak macetnya sehingga mungkin aktivitas fisiknya berkurang dan pola makan sebagainya juga bisa menjadi salah satu faktor risiko,” tutur dr. Elvieda.
Untuk penanganan stroke di Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi tantangan diantaranya adalah:
- Deteksi dini faktor risiko belum optimal di masyarakat, hal ini tampak dari peningkatan prevalensi faktor risiko berdasarkan Riskesdas 2013 dan 2018 tampak peningkatan dan capaian skrining kesehatan usia produktif yang masih rendah.
- Masyarakat belum mengenali tanda-tanda dini serangan stroke sehingga penanganan kasus terlambat.
- Belum semua RS memiliki fasilitas dan tim penanganan pelayanan stroke terpadu.
“Dibutuhkan komitemen baik individu dan peran lintas sektor untuk perubahan perilaku yang revolusioner yang menerapkan budaya hidup sehat. Selain itu, deteksi dini faktor risiko secara teratur dan tindak lanjutnya dapat mencegah PTM termasuk stroke,” tutup dr. Elvieda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)