FITNESS & HEALTH
Ketahui Mitos, Fakta dan Stigma Sosial Seputar Penyakit Kusta Menurut Ahli
Yuni Yuli Yanti
Sabtu 01 Maret 2025 / 10:00
Jakarta: Indonesia merupakan negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia. Meskipun telah ada kemajuan dalam penanganan penyakit ini, tantangan seperti stigma sosial, diskriminasi, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan masih menjadi hambatan besar dalam pemberantasan kusta.
Belum lagi, adanya sejumlah mitos yang berkembang di masyarakat bahwa penyakit kusta adalah keturunan, kutukan, akibat dosa, menyebabkan jari dan tangan buntung hingga tidak bisa disembuhkan. Tentunya, ini membuat penanganan penyakit kusta semakin sulit diatasi.
Prof. Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.D.V.E, Subsp.D.T, FINSDV, FAADV, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dewan Pembina NLR Indonesia mengatakan kusta adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Penyakit dengan seribu wajah ini umumnya menyerang saraf tepi, kulit, mata dan organ tubuh lainnya. Dapat mengenai siapa saja mulai dari laki-laki, perempuan, anak-anak hingga lansia.
"Faktanya, kusta bukan penyakit keturunan, karena ada bakteri penyebabnya yaitu Mycobacterium leprae. Tangan, kaki atau mata, yang disebut buntung dan lain sebagainya yang mengalami disabilitas, atau mengalami gangguan fungsi, itu karena luka atau peradangan yang tidak dideteksi sejak awal, dan tidak diobati dengan baik. Penyakit ini bisa disembuhkan jika pasien konsisten mengonsumsi obat dari dokter seperti obat Rifampisin, Dapson/DDS dan Klofazimin/Lampren," ujar Prof. Sri dalam acara Media Gathering NLR Indonesia: Bersama Media menuju Indonesia Bebas Kusta, Kamis (27/2/2025), di Jakarta.
Tentunya, mitos seputar penyakit kusta tersebut juga menimbulkan stigma diri dan stigma sosial yang berdampak pada perasaan dikucilkan, diskriminasi hingga mengisolasi diri. Kehilangan kesempatan bersekolah dan bekerja, menjadi pengangguran, bergantung pada individu lain, hambatan akses layanan kesehatan, tidak berani berkeluarha hingga penurunan kualitas hidup.

(Ki-Ka: Nurdiansyah (OYPMK); Agus Wijayanto, MMID Direktur Eksekutif NLR Indonesia; Prof. Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.D.V.E, Subsp.D.T, FINSDV, FAADV, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dewan Pembina NLR Indonesia; dr. Ina Agustina Isturini, MKM. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam acara Media Gathering yang diselengarakan oleh NLR Indonesia. Foto: Dok. Istimewa)
Oleh sebab itu, lanjut Prof. Sri, dalam upaya mengatasi masalah medis dan sosial dibutuhkan kelola multipihak. Mulai dari pemerintah yang perlu menguatkan komitmen, kebijakan, dan manajemen program dalam penanggulangan kusta. Serta, mningkatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta.
Juga, meningkatkan kapasitas sistem pelayanan dalam melakukan pencegahan, penemuan dini, diagnosis dan penatalaksanaan kusta secara komprehensif dan berkualitas. Melakukan rehabilitasi fisik dan mental/psikologik.
"Untuk masyarakat kita perlu melakukan pemberdayaan dari berbagai sumber daya seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, influencer, guru, dosen, akademisi, media sosial ataupun cetak, dan sebagainya. Kita kuatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta," tegas Prof. Sri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif NLR Indonesia, Agus Wijayanto, menegaskan komitmen lembaganya untuk mencapai target Indonesia Bebas Kusta atau Zero Leprosy pada 2045.
Sebagai langkah konkret, NLR Indonesia telah meluncurkan ProjectZero Leprosy, sebuah inisiatif berbasis kolaborasi, edukasi, dan pemberdayaan komunitas.
Program ini bertujuan mengurangi jumlah kasus kusta di Indonesia serta memberikan dukungan kepada orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), agar mereka dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat tanpa rasa takut akan stigma atau diskriminasi.
"Dalam upaya edukasi, NLR Indonesia juga memperkenalkan Buku Kusta, yang diharapkan menjadi sumber informasi komprehensif mengenai penyakit kusta dan tantangan sosial yang dihadapi oleh OYPMK. Buku ini diharapkan dapat memberikan wawasan lebih mendalam kepada masyarakat serta pemangku kepentingan dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi," tutup Agus Wijayanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(yyy)
Belum lagi, adanya sejumlah mitos yang berkembang di masyarakat bahwa penyakit kusta adalah keturunan, kutukan, akibat dosa, menyebabkan jari dan tangan buntung hingga tidak bisa disembuhkan. Tentunya, ini membuat penanganan penyakit kusta semakin sulit diatasi.
Prof. Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.D.V.E, Subsp.D.T, FINSDV, FAADV, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dewan Pembina NLR Indonesia mengatakan kusta adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Penyakit dengan seribu wajah ini umumnya menyerang saraf tepi, kulit, mata dan organ tubuh lainnya. Dapat mengenai siapa saja mulai dari laki-laki, perempuan, anak-anak hingga lansia.
"Faktanya, kusta bukan penyakit keturunan, karena ada bakteri penyebabnya yaitu Mycobacterium leprae. Tangan, kaki atau mata, yang disebut buntung dan lain sebagainya yang mengalami disabilitas, atau mengalami gangguan fungsi, itu karena luka atau peradangan yang tidak dideteksi sejak awal, dan tidak diobati dengan baik. Penyakit ini bisa disembuhkan jika pasien konsisten mengonsumsi obat dari dokter seperti obat Rifampisin, Dapson/DDS dan Klofazimin/Lampren," ujar Prof. Sri dalam acara Media Gathering NLR Indonesia: Bersama Media menuju Indonesia Bebas Kusta, Kamis (27/2/2025), di Jakarta.
Tentunya, mitos seputar penyakit kusta tersebut juga menimbulkan stigma diri dan stigma sosial yang berdampak pada perasaan dikucilkan, diskriminasi hingga mengisolasi diri. Kehilangan kesempatan bersekolah dan bekerja, menjadi pengangguran, bergantung pada individu lain, hambatan akses layanan kesehatan, tidak berani berkeluarha hingga penurunan kualitas hidup.

(Ki-Ka: Nurdiansyah (OYPMK); Agus Wijayanto, MMID Direktur Eksekutif NLR Indonesia; Prof. Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.D.V.E, Subsp.D.T, FINSDV, FAADV, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dewan Pembina NLR Indonesia; dr. Ina Agustina Isturini, MKM. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam acara Media Gathering yang diselengarakan oleh NLR Indonesia. Foto: Dok. Istimewa)
Oleh sebab itu, lanjut Prof. Sri, dalam upaya mengatasi masalah medis dan sosial dibutuhkan kelola multipihak. Mulai dari pemerintah yang perlu menguatkan komitmen, kebijakan, dan manajemen program dalam penanggulangan kusta. Serta, mningkatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta.
Juga, meningkatkan kapasitas sistem pelayanan dalam melakukan pencegahan, penemuan dini, diagnosis dan penatalaksanaan kusta secara komprehensif dan berkualitas. Melakukan rehabilitasi fisik dan mental/psikologik.
"Untuk masyarakat kita perlu melakukan pemberdayaan dari berbagai sumber daya seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, influencer, guru, dosen, akademisi, media sosial ataupun cetak, dan sebagainya. Kita kuatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta," tegas Prof. Sri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif NLR Indonesia, Agus Wijayanto, menegaskan komitmen lembaganya untuk mencapai target Indonesia Bebas Kusta atau Zero Leprosy pada 2045.
Sebagai langkah konkret, NLR Indonesia telah meluncurkan ProjectZero Leprosy, sebuah inisiatif berbasis kolaborasi, edukasi, dan pemberdayaan komunitas.
Program ini bertujuan mengurangi jumlah kasus kusta di Indonesia serta memberikan dukungan kepada orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), agar mereka dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat tanpa rasa takut akan stigma atau diskriminasi.
"Dalam upaya edukasi, NLR Indonesia juga memperkenalkan Buku Kusta, yang diharapkan menjadi sumber informasi komprehensif mengenai penyakit kusta dan tantangan sosial yang dihadapi oleh OYPMK. Buku ini diharapkan dapat memberikan wawasan lebih mendalam kepada masyarakat serta pemangku kepentingan dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi," tutup Agus Wijayanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(yyy)