FITNESS & HEALTH

Mengukur Kecukupan Gizi Anak Indonesia lewat Kolaborasi JAPFA X PKGK UI

A. Firdaus
Jumat 27 September 2024 / 11:15
Jakarta: Pemerintahan baru dari Pasangan Presiden-Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming sempat berkomitmen untuk menyediakan makan siang gratis. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA), Yayasan Edufarmers bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Universitas Indonesia (PKGK UI) mencoba untuk memberikan gambaran kecil dari program tersebut, dengan melakukan studi kecukupan gizi anak Indonesia.

Sebanyak lebih dari 1.000 anak sekolah dasar, taman kanak-kanak, dan balita mendapatkan makanan bergizi pada Mei-Juni lalu. Studi ini dilakukan di 5 kota, di antaranya Padang, Sragen, Mempawah, Malang dan Makassar.

Ada 3 model yang diuji untuk pemberian makan bergizi, yakni Ready to Eat (RTE), Ready to Cook (RTC) dan Swakelola. Tujuannya adalah untuk menganilisis efektivitas setiap model sekaligus memantau proses produksi, pemenuhan kebutuhan gizi, hingga distribusinya.

"Konsumsi protein hewani di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara maju dan beberapa negara ASEAN. Sebagai produsen protein hewani berkualitas, JAPFA berkomitmen menyediakan pangan yang bergizi dan terjangkau, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 2: Zero Hunger, serta mendukung visi Indonesia Emas 2045," ucap Direktur Corporate Affairs, Rachmat Indrajaya.

Baca juga: Program Pemenuhan Gizi Prabowo-Gibran Didukung Masyarakat Lintas Profesi

Selama tiga bulan studi ini disiapkan. Mulai dari konsep model pemberian makan hingga pemilihan lokasi, sebelum akhirnya disosialisasikan pada awal Mei lalu.

Wilayah cakupan studi meliputi daerah sekitar unit operasional JAPFA, yakni SDN 06 Batang Anai di Padang, Sumatera Selatan; SDN 01 Duyungan di Sragen, Jawa Tengah; Posyandu Kecamatan Bululawang di Malang, Jawa Timur; SDN 03 Sungai Pinyuh di Mempawah, Kalimantan Barat; serta SD Bugatun Mubarakah dan TK Asoka di Makassar, Sulawesi Selatan.

Selama 6 minggu berturut-turut tersebut, setiap wilayah diuji coba selama 10 hari untuk setiap model pemberian makanan, yang kemudian diukur dan dievaluasi angka kecukupan gizi dan efektivitas pelaksanaannya.
 

Minimnya minat mengonsumsi protein hewani


"Dari observasi lapangan, kami menemukan bahwa konsumsi protein hewani masih relatif rendah, kecuali telur. Selain itu, sebanyak 63% siswa tidak terbiasa membawa bekal. Meskipun demikian, status gizi siswa dilihat dari berat dan tinggi badan, tergolong normal berdasarkan standar WHO dan Kemenkes," ucap Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, ahli gizi kesehatan masyarakat PKGK UI.

Tapi yang menarik adalah, dari ketiga model pemberian makanan bergizi yang dilakukan, Prof. Fika melanjutkan, model Swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi diantara siswa dengan persentase 84%. Kemudian diikuti oleh Ready to Cook (RTC) dengan persentase 83%.



Yang dimaksud dengan Ready to Eat adalah, JAPFA bekerjasama dengan katering dari komunitas lokal untuk memproduksi makanan yang didistribusikan kepada siswa di sekolah.

Sementara untuk Ready to cook, artinya sekolah yang mengelola produksi makanan untuk diberikan ke anak-anak. Sementara JAPFA hanya menyediakan bahan baku protein.

Untuk swakelola, JAPFA hanya menyediakan dana untuk dikelola oleh sekolah dan sekolah membentuk tim untuk memproduksi bahan makanan.

Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk/kurang, berkurang 2,8% pasca program. Dalam artian, program ini berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, terutama dalam hal protein dan buah yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa.
 

Rekomendasi untuk pemerintah


Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR), I Dewa Made Agung, mengungkapkan pentingnya kolaborasi multi stakeholder dalam mendukung keberhasilan program makan bergizi. Yang tidak kalah penting, edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi, serta pengelolaan food waste perlu diberikan kepada anak dan orang tua.

"Studi percontohan yang dilakukan oleh JAPFA dan PKGK UI dapat menjadi referensi penting untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah. Dari studi ini juga dapat dilihat penyusunan rentang biaya yang perlu disesuaikan dengan daerahnya," ungkap Dewa.

"Selain itu, perlunya memastikan bahwa produsen menghasilkan bahan makanan yang berkualitas dan terjamin keamanan pangannya, serta higienitas dalam proses produksi untuk hasil yang optimal. Seperti daging ayam yang berasal dari rumah potong ayam yang memenuhi standar dan memiliki sertifikat NKV," sambungnya.

Untuk itu Rachmat mengatakan harapannya, dari hasil studi ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Tentunya JAPFA mendukung dan terbuka untuk berkolaborasi lebih lanjut dalam penyediaan protein hewani guna meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(FIR)

MOST SEARCH