FAMILY
Fenomena Grey Divorce, Ketika Perceraian Terjadi di Usia Senja
A. Firdaus
Jumat 19 Desember 2025 / 12:10
Jakarta: Dulu, perpisahan pada pasangan yang telah lama menikah kerap identik dengan kehilangan akibat faktor kesehatan. Namun, lanskap relasi di usia senja kini berubah. Di tengah dinamika masyarakat modern, perceraian di kalangan pasangan paruh baya semakin sering terjadi dan tak lagi dianggap sebagai hal yang tabu.
Fenomena ini dikenal dengan istilah grey divorce, sebutan bagi perceraian yang terjadi pada pasangan berusia 50 tahun ke atas. Istilah tersebut menggabungkan kata divorce yang berarti perceraian dan warna abu-abu (grey) yang merujuk pada uban, simbol usia lanjut. Di sejumlah negara, fenomena serupa juga dikenal dengan nama lain, seperti twilight divorce atau silver separation.
Meningkatnya grey divorce tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, negara dengan tingkat perceraian yang relatif tinggi. Korea Selatan mengenalnya sebagai hwang-hon, sementara di Jepang dikenal dengan istilah jukunen-rikon. Di Indonesia, fenomena ini turut mencuri perhatian publik seiring munculnya kasus perceraian di kalangan figur publik yang telah lama membina rumah tangga.
Beberapa nama yang menjadi sorotan antara lain Andre Taulany dan Rien Wartia Trigina yang berpisah setelah dua dekade bersama, hingga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya yang proses perceraiannya tengah menjadi perhatian setelah hampir 30 tahun pernikahan.
Istilah grey divorce sendiri pertama kali diperkenalkan dalam kajian akademis oleh sosiolog Susan L. Brown dan I-Fen Lin pada 2012. Dalam penelitiannya, mereka mencatat bahwa angka perceraian di kalangan usia 50 tahun ke atas di Amerika Serikat meningkat dua kali lipat antara 1990 hingga 2010, sebuah tren yang mencerminkan pergeseran besar dalam makna pernikahan.
Meningkatnya perceraian di usia lanjut tidak hadir tanpa sebab. Salah satu pemicunya adalah perubahan cara pandang terhadap pernikahan. Seiring modernitas, banyak pasangan, baik pria maupun perempuan, menaruh harapan lebih besar pada kualitas relasi, termasuk kesetaraan peran dan kepuasan emosional dalam pernikahan.
Faktor lain adalah meningkatnya angka harapan hidup. Dengan usia yang semakin panjang, pasangan tidak lagi melihat masa tua sebagai akhir perjalanan hidup, melainkan fase baru yang tetap memiliki peluang untuk bahagia. Dalam konteks ini, bertahan dalam pernikahan yang dirasa hampa tak lagi menjadi pilihan utama.
Stigma sosial terhadap perceraian pun kian memudar. Jika dulu perceraian dianggap aib, kini masyarakat cenderung lebih terbuka dan memahami bahwa berpisah bisa menjadi jalan keluar dari relasi yang tak lagi sehat. Terlebih, kemandirian finansial, khususnya di kalangan perempuan, memberi ruang lebih besar untuk mengambil keputusan hidup secara mandiri, termasuk mengakhiri pernikahan.

Bagi sebagian keluarga, perceraian justru menjadi titik lega, terutama ketika anak-anak dewasa tumbuh di tengah konflik berkepanjangan. Ilustrasi Freepik
Perceraian, pada usia berapa pun, tetap menjadi peristiwa penuh beban emosional. Meski anak-anak telah dewasa, grey divorce tetap dapat meninggalkan dampak yang signifikan. Psikoterapis asal California, Carol Hughes, menyebut perceraian orang tua di usia lanjut dapat mengguncang pemahaman anak dewasa tentang keluarga, bahkan memengaruhi identitas dan kepercayaan diri mereka.
Dalam beberapa kasus, anak-anak merasa berkewajiban untuk memihak salah satu orang tua atau memberi dukungan emosional dan sosial secara intens. Tak jarang, dinamika ini merembet ke hubungan antar saudara, tradisi keluarga, hingga momen kebersamaan seperti hari raya atau liburan.
Profesor sosiologi dari Kutztown University of Pennsylvania, Joleen Greenwood, menambahkan bahwa perceraian di usia lanjut juga bisa memunculkan persoalan praktis, seperti pembagian warisan, penentuan kerabat terdekat, hingga hak pengambilan keputusan medis di masa mendatang.
Meski demikian, tidak semua grey divorce berujung pada dampak negatif. Bagi sebagian keluarga, perceraian justru menjadi titik lega, terutama ketika anak-anak dewasa tumbuh di tengah konflik berkepanjangan. Dalam situasi tertentu, perpisahan dianggap sebagai langkah terbaik bagi semua pihak untuk menjalani hidup dengan lebih jujur dan tenang.
Di tengah perubahan zaman, grey divorce menjadi cerminan bahwa pencarian kebahagiaan dan makna hidup tidak berhenti pada usia tertentu. Bahkan di usia senja, banyak orang memilih untuk mendefinisikan ulang arti kebersamaan, keberanian, dan kebahagiaan personal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Fenomena ini dikenal dengan istilah grey divorce, sebutan bagi perceraian yang terjadi pada pasangan berusia 50 tahun ke atas. Istilah tersebut menggabungkan kata divorce yang berarti perceraian dan warna abu-abu (grey) yang merujuk pada uban, simbol usia lanjut. Di sejumlah negara, fenomena serupa juga dikenal dengan nama lain, seperti twilight divorce atau silver separation.
Meningkatnya grey divorce tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, negara dengan tingkat perceraian yang relatif tinggi. Korea Selatan mengenalnya sebagai hwang-hon, sementara di Jepang dikenal dengan istilah jukunen-rikon. Di Indonesia, fenomena ini turut mencuri perhatian publik seiring munculnya kasus perceraian di kalangan figur publik yang telah lama membina rumah tangga.
Baca Juga :
Deretan Penyebab Perceraian Seleb Sepanjang 2025, dari Perselingkuhan hingga Masalah Komunikasi
Beberapa nama yang menjadi sorotan antara lain Andre Taulany dan Rien Wartia Trigina yang berpisah setelah dua dekade bersama, hingga Ridwan Kamil dan Atalia Praratya yang proses perceraiannya tengah menjadi perhatian setelah hampir 30 tahun pernikahan.
Istilah grey divorce sendiri pertama kali diperkenalkan dalam kajian akademis oleh sosiolog Susan L. Brown dan I-Fen Lin pada 2012. Dalam penelitiannya, mereka mencatat bahwa angka perceraian di kalangan usia 50 tahun ke atas di Amerika Serikat meningkat dua kali lipat antara 1990 hingga 2010, sebuah tren yang mencerminkan pergeseran besar dalam makna pernikahan.
Mengapa Grey Divorce terjadi?
Meningkatnya perceraian di usia lanjut tidak hadir tanpa sebab. Salah satu pemicunya adalah perubahan cara pandang terhadap pernikahan. Seiring modernitas, banyak pasangan, baik pria maupun perempuan, menaruh harapan lebih besar pada kualitas relasi, termasuk kesetaraan peran dan kepuasan emosional dalam pernikahan.
Faktor lain adalah meningkatnya angka harapan hidup. Dengan usia yang semakin panjang, pasangan tidak lagi melihat masa tua sebagai akhir perjalanan hidup, melainkan fase baru yang tetap memiliki peluang untuk bahagia. Dalam konteks ini, bertahan dalam pernikahan yang dirasa hampa tak lagi menjadi pilihan utama.
Stigma sosial terhadap perceraian pun kian memudar. Jika dulu perceraian dianggap aib, kini masyarakat cenderung lebih terbuka dan memahami bahwa berpisah bisa menjadi jalan keluar dari relasi yang tak lagi sehat. Terlebih, kemandirian finansial, khususnya di kalangan perempuan, memberi ruang lebih besar untuk mengambil keputusan hidup secara mandiri, termasuk mengakhiri pernikahan.
Dampak emosional dan dinamika keluarga

Bagi sebagian keluarga, perceraian justru menjadi titik lega, terutama ketika anak-anak dewasa tumbuh di tengah konflik berkepanjangan. Ilustrasi Freepik
Perceraian, pada usia berapa pun, tetap menjadi peristiwa penuh beban emosional. Meski anak-anak telah dewasa, grey divorce tetap dapat meninggalkan dampak yang signifikan. Psikoterapis asal California, Carol Hughes, menyebut perceraian orang tua di usia lanjut dapat mengguncang pemahaman anak dewasa tentang keluarga, bahkan memengaruhi identitas dan kepercayaan diri mereka.
Dalam beberapa kasus, anak-anak merasa berkewajiban untuk memihak salah satu orang tua atau memberi dukungan emosional dan sosial secara intens. Tak jarang, dinamika ini merembet ke hubungan antar saudara, tradisi keluarga, hingga momen kebersamaan seperti hari raya atau liburan.
Profesor sosiologi dari Kutztown University of Pennsylvania, Joleen Greenwood, menambahkan bahwa perceraian di usia lanjut juga bisa memunculkan persoalan praktis, seperti pembagian warisan, penentuan kerabat terdekat, hingga hak pengambilan keputusan medis di masa mendatang.
Meski demikian, tidak semua grey divorce berujung pada dampak negatif. Bagi sebagian keluarga, perceraian justru menjadi titik lega, terutama ketika anak-anak dewasa tumbuh di tengah konflik berkepanjangan. Dalam situasi tertentu, perpisahan dianggap sebagai langkah terbaik bagi semua pihak untuk menjalani hidup dengan lebih jujur dan tenang.
Di tengah perubahan zaman, grey divorce menjadi cerminan bahwa pencarian kebahagiaan dan makna hidup tidak berhenti pada usia tertentu. Bahkan di usia senja, banyak orang memilih untuk mendefinisikan ulang arti kebersamaan, keberanian, dan kebahagiaan personal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)