FAMILY

Kenali 3 Gaya Belajar Anak

Yatin Suleha
Minggu 23 Juli 2023 / 20:39
Jakarta: Gaya si kecil belajar berbeda-beda. Setiap orang biasanya memang punya kecenderungan yang beda-beda dan tidak tidak ada yang salah dengan kecenderungannya, dan tiap orang pasti punya stylenya yang berbeda.

Psikolog Irma Gustiana A, S.Psi., M.Psi., Psikolog., CPC mengatakan dari usia tiga tahun sudah mulai terlihat gaya belajar anak.

"Karena (usia) 0 sampai 2 kan masih masa-masa belajar ya, kita masih mengamati nih kebiasaannya, dia baru kenal lingkungan dan segala macamnya. Kalau tiga tahun kan biasanya anak-anak sudah mulai pra sekolah kalau di Indonesia ya dan sudah mulai mengenal lingkungan dan fisiknya juga udah mulai cukup kuat," kata Psikolog Irma.

"Nah itu kita bisa lihat tuh, caranya dia belajar nih," tukas Psikolog Irma.

Menurt Psikolog Irma, kita mesti mendefinisikan dulu, gaya belajar itu merupakan cara seseorang memproses dan menilai sebuah informasi.  

Dan setiap orang itu biasanya memang punya kecenderungan yang beda-beda dan tidak tidak ada yang salah dengan kecenderungan tadi. Jadi seperti apa gaya belajar anak? Berikut paparan Psikolog Irma Gustiana A, S.Psi., M.Psi., Psikolog., CPC.
 

1. Tipe gaya belajar visual


Anak-anak dengan gaya belajar visual cenderung lebih senang belajar dengan penglihatannya untuk bisa mengingat sebuah pesan atau informasi. Nah, biasanya mereka senang segala sesuatu yang berwarna-warni, ada ilustrasi gambar, ada infografis, dan itu membuat si kecil menikmati cara belajarnya. 
 

2. Tipe gaya belajar auditori


Auditori berhubungan dengan pendengaran. Anak dengan tipe gaya belajar auditori dominan dengan cara mendengarkan orang lain atau sebuah objek atau sesuatu hal. 

"Jadi kalau misalnya dia di kelas kecenderungannya tampak seperti anak yang tidak memerhatikan guru tapi sebenarnya dia mendengarkan apa yang diajarkan oleh gurunya. Menyimak. Tidak melihat ke depan, enggak ngeliat gurunya lagi ngobrol tapi dia mendengarkan," beber Psikolog Irma.

"Biasanya kalau untuk anak-anak auditori ini, kita menganjurkan orang tua mengajak mereka belajarnya itu read aloud (membaca dengan lantang). Kalau anak visual kan sambil silent aja dia bisa belajar, sambil dia coret, sambil dia lihat yang lain. Tapi kalau anak auditori, dia baca tapi dia bersuara sehingga suaranya tadi dia dengar. Pesan-pesan itu yang nanti dia ingat. Trus belajarnya juga biasanya kita ajarkan untuk direkam dulu nanti didengerin lagi," jelas Psikolog Irma.
 

3. Tipe gaya belajar kinestetis



(Gaya belajar kinestetik adalah proses pembelajaran yang mengandalkan sentuhan atau rasa untuk menerima informasi dan pengetahuan. Seseorang yang memiliki gaya belajar kinestetik cenderung suka melakukan, menyentuh, merasa, bergerak dan mengalami secara langsung. Foto: Ilustrasi/Dok. Freepik.com)

Kinestetis yaitu bodily bergerak. Menurut Psikolog Irma, anak yang berlajar kinestetis ia belajar tapi dia banyak pindah-pindahnya. "Kelihatan seperti gelisah tapi sebenarnya dia lagi belajar," tukas Psikolog Irma.

"Mungkin 5 menit dia tengkurap, habis itu nanti dia sambil selonjoran, terus pindah posisi yang lain tapi sambil bawa buku. Atau sambil mendengarkan sesuatu tapi dia bergerak. Nah itu adalah kinestetis," ungkap Psikolog Irma.

Psikolog Irma juga menerangkan bahwa tiga hal tadi itu bisa terjadi sama siapa pun. "Kita, orang dewasa pun belajarnya begitu juga ya. Jadi setiap orang punya gaya dan tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar karena setiap orang menikmati proses belajar itu rasanya beda-beda."
 

Apakah bisa kombinasi dari keduanya?


Psikolog Irma menerangkan baha hal ini bisa terjadi. "Karena tidak ada yang murni pure 100 persen. Enggak ada yang pasti 100 persen visual itu enggak. Kayak aku, visual-kinestetis. Misalnya, dia baca tapi sambil menggaris-garis. Dengan menggaris, menempel, mewarnai, itu kinestetis karena ada gerakan sensori motorik."

"Nah, justru di situ dia jadi lebih mudah mengingat. Ketika dia belajar ada peta pikirannya dia yang warnanya merah apa. Jadi dia bisa mengkodekan itu," jelas Psikolog Irma.
 

"Tidak ada anak bodoh"


Dalam event Lotte Choco Pie yaitu “Dunia Si Kecil” yang bertepatan dengan perayaan Hari Anak Nasional di Play ‘N’ Learn, Emporium Pluit Mall, Jakarta hari ini, Psikolog Irma menerangkan bahwa sebenarnya kategorisasi IQ itu bukan memberikan label bodoh, pintar, dan lain sebagainya. 

"Karena di kategorisasi IQ tidak ada misalnya IQ sekian sampai sekian pintar, itu enggak ada. Hanya mengategorikan dia di atas rata-rata anak seusianya, oh dia superior gitu ya. Superior juga mungkin secara score, tapi dilihat sehari-hari mungkin dia sosialisasinya kurang. Nah berarti kan ya ada yang kurang," terang Psikolog Irma.

"Jadi semua anak punya kesempatan belajar yang sama, menjadi pintar di bidangnya masing-masing. Jadi makanya kenapa ada multiple intelegensia, itu supaya orang tua tahu mana yang dia dominan dengan gaya belajar apa itu kita maksimalkan supaya dia bisa survive, syukur-syukur nanti dewasa bisa cari duit dari kecerdasannya dia itu," pungkas Psikolog Irma. 
(TIN)

MOST SEARCH