Wonogiri: Kabupaten Wonogiri merupakan tiga besar penghasil sapi potong di Jawa Tengah, dengan memiliki populasi lebih dari 170 ribu ekor. Posisinya sebagai lumbung daging di antara 35 kabupaten/kota yang ada di provinsi ini, hanya kalah dari Blora dan Boyolali yang menempati peringkat 1 dan 2.
Ketika kemudian muncul kasus antraks yang menelan 3 korban jiwa warga di Kapanewon Semanu, kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu lalu, maka Wonogiri sebagai tetangga terdekat, harus mengambil langkah cepat, sebagai bentuk antisipasi.
"Posisi kami di bagian barat yang berbatasan dengan wilayah Gunung Kidul, sangat rawan. Apalagi Wonogiri pernah memiliki riwayat temuan antraks, baik pada hewan ternak dan manusia di Eromoko. Jadi upaya mengantisipasi menjadi keniscayaan," kata Kepala Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan (Disnakperla) Wonogiri, Sutardi dalam obrolan panjang dengan Media Indonesia, di kantornya, beberapa hari lalu.
Menurut dia, Disnakperla Wonogiri, terkait kasus di Gunung Kidul, langsung membuat laporan kepada Bupati Joko Sutopo, serta berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Jawa Tengah, untuk membuat antisipasi efektif agar wabah tidak merembet masuk ke wilayah Wonogiri.
Disnakperla, lanjut dia, mendorong masyarakat untuk waspada dan paham tentang apa itu penyakit atraks, khususnya bagi para peternak. Penyikapan seperti itu akan memudahkan Pemkab mengambil langkah dan tindakan, jika persoalan di tetangga itu melebar ke wilayah Wonogiri.
Dia paparkan, bibit antraks merupakan penyakit yang tidak dapat dibebaskan, dan hanya bisa dikendalikan. Sebab bakteri bacillus anthracis itu membentuk spora di tanah dan lingkungan di mana pernah muncul kasus, hingga bertahan sampai puluhan tahun.
Karena itu kesigapan Bupati Joko Sutopo atau Mas Jekek mengeluarkan instruksi kepada Disnakperla dan Dinas Kesehatan untuk sigap melakukan penangan cepat, langsung diimplementasikan dengan pembentukan tim gabungan reaksi cepat.
Salah satunya membentuk tim Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), yang melibatkan sektor kesehatan, kader zoonosis, dan OPD terkait di kecamatan dan desa, untuk bergerak masif ke wilayah wilayah rentan.
Selain itu, unit petugas kesehatan hewan, diperintahkan melakukan pengawasan ketat lalu lintas ternak, berupa barikade untuk sapi asal Gunung Kidul. Jika tidak ada dokumen SKKH ( surat keterangan kesehatan hewan ) dari daerah asal, harus cepat diminta balik, dan sekaligus tindakan disposal, semisal ada hewan yang terinfeksi.
"Perintah bupati, Tim KIE masif bergerak sosialisasi ke lapangan, guna meredam kegelisahan dan memberikan edukasi taktis, hingga masyarakat benar benar paham dan tahu, apa itu antraks, dan bagaimana mengenali gejala klinis atau indikasi fisik yang tampak pada ternak herbivora, seperti sapi, kerbau, domba dan kambing," imbuh dia.
Selain itu, pengetatan lalu lintas ternak di perbatasan, menjadi kunci penting penanggulangan. Hal ini menjadi penyikapan mutlak, karena dari kilas balik kasus antraks yang menyebabkan dua ekor sapi mati di Eromoko pada 2021 juga berasal dari luar. Dan itu masih berlanjut, dengan munculnya kasus sama menyerang seekor sapi di pengujung tahun 2022, meski yang terakhir ini bisa disembuhkan dan tidak meluas.
Berkat kerja keras tim KIE, kini membuat masyarakat dan khususnya peternak se-Wonogiri semakin paham dan tahu, bahwa penyakit antraks itu sangat berbahaya. Dalam bentuk spora mampu bertahan hidup dalam jangka hingga puluhan tahun. MI/Widjajadi Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News