Ekonom UI Lana Soelistianingsih menjelaskan, alasan Inggris tidak mengalami kerugian besar usai keluar dari Uni Eropa lantaran ekonomi Inggris terbilang stabil. Dari sisi mata uang, Inggris tidak ikut bergabung dalam denominasi euro. Dalam hal ini, Inggris memiliki mata uang sendiri yakni poundsterling.
Apalagi, lanjut Lana, tingkat pengangguran di Inggris hanya lima persen atau lebih rendah dibandingkan di Uni Eropa yang mencapai angka 10 persen. Adapun Lana menilai, langkah Inggris melakukan Brexit merupakan kebijakan antisipasi dalam menghadapi tekanan ekonomi yang melambat di Uni Eropa.
"Uni Eropa ini kan sedang struggle untuk keluar dari ekonomi yang melambat, dari tenaga kerja, karena proses perlambatan di Uni Eropa. Mungkin menambah sentimen untuk keluar," kata Lana, di Jakarta, Sabtu (25/6/2016).
Namun sayangnya, lanjut Lana, ada risiko Inggris keluar dari Uni Eropa atau ada yang tidak dipikirkan secara matang oleh mayoritas pemilih yang menyatakan "Leave" yakni selama di Uni Eropa Inggris mendapatkan perlakuan khusus yang membuat mereka mendapatkan beberapa fasilitas.
Misalnya, tambahnya, dari segi perdagangan di mana ekspor Inggris ke Uni Eropa mencapai 63 persen karena adanya bebas tarif keluar masuk. Selain itu, Inggris mendapat keuntungan dari sektor pariwisata.
"Implikasinya kalau keluar, turis Inggris itu sebagian besar adalah dari Uni Eropa. Kalau mereka anti Uni Eropa, besar kemungkinan turisnya, lalu yang menghasilkan kerajinan untuk turis, itu akan terkena dampaknya. Implikasinya nanti bisa ada pemangkasan pegawai," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
