Pada periode ini, Cloudflare berhasil memitigasi serangan DDoS terbesar dalam sejarah, sebuah serangan monumental yang mencapai puncak 7,3 terabit per detik (Tbps) dengan 4,8 miliar paket data per detik (Bpps). Serangan raksasa ini menjadi bukti nyata bahwa para pelaku kejahatan siber terus meningkatkan skala dan kekuatan serangan mereka ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Meskipun jumlah total serangan DDoS pada kuartal kedua ini menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan kuartal pertama—yang sebelumnya memecahkan rekor—angkanya masih 44% lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Laporan tersebut mencatat ada lebih dari 6.500 serangan hiper-volumetrik, yakni serangan dengan volume di atas 1 Tbps, yang berhasil diblokir. Ini berarti, rata-rata terjadi 71 serangan super masif setiap harinya.
Juni menjadi bulan paling sibuk, menyumbang hampir 38% dari seluruh aktivitas serangan yang teramati. Pola ini menunjukkan bahwa para penyerang cenderung lebih aktif pada pertengahan tahun, menargetkan berbagai sektor vital yang menjadi tulang punggung ekonomi digital.
Sektor telekomunikasi, penyedia layanan internet, dan operator jaringan kembali menjadi sasaran utama. Namun, ada temuan mengejutkan dalam laporan kali ini. Sektor pertanian, yang sebelumnya berada di peringkat ke-38, tiba-tiba melonjak ke posisi 8 sebagai industri yang paling banyak diserang. Pergeseran ini mengindikasikan bahwa ancaman siber kini mulai menyasar sektor-sektor non-tradisional yang mungkin belum memiliki pertahanan siber yang kuat.
Selain menargetkan infrastruktur, serangan DDoS juga digunakan sebagai alat untuk membungkam suara-suara independen. Salah satu insiden signifikan yang disorot adalah serangan yang menargetkan sebuah outlet berita independen di Eropa Timur. Serangan tersebut dilancarkan setelah media tersebut meliput acara parade Pride lokal, menunjukkan bagaimana serangan siber dapat dimanfaatkan untuk tujuan ideologis dan penindasan.
Yang lebih mengejutkan bagi Indonesia adalah temuan mengenai sumber serangan. Laporan Cloudflare menempatkan Indonesia sebagai negara sumber serangan DDoS teratas di dunia pada kuartal kedua 2025.
Fakta ini menjadi alarm keras bagi pemerintah, penyedia layanan internet, dan pengguna di tanah air untuk memperkuat keamanan digital dan mencegah perangkat-perangkat di dalam negeri dieksploitasi menjadi bagian dari botnet—jaringan komputer yang dikendalikan dari jarak jauh untuk melancarkan serangan.
Laporan ini menggarisbawahi bahwa ancaman DDoS bukan lagi sekadar gangguan teknis, melainkan telah berevolusi menjadi senjata siber yang kuat dan terorganisir. Dengan skala serangan yang terus memecahkan rekor dan target yang semakin beragam, kebutuhan akan sistem pertahanan otomatis dan proaktif menjadi semakin mendesak bagi semua entitas yang terhubung ke internet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News