Generasi sistem navigasi kuantum sudah mulai mendapat perhatian serius dari lembaga riset dan militer di dunia. Sebagai informasi, teknologi GPS saat ini mengandalkan ratusan satelit yang mengorbit Bumi dan menerima sinyal dari perangkat pengguna untuk menentukan posisi melalui trilaterasi.
Namun metode tersebut punya sejumlah keterbatasan, dari akurasi yang dapat terpengaruh oleh cuaca, gedung tinggi, hingga potensi manipulasi sinyal. Teknologi baru ini mencoba memecahkan masalah tersebut dengan pendekatan berbeda, seperti navigasi berbasis medan magnet Bumi atau sistem kuantum lebih tahan gangguan.
Sebagai contoh, teknologi magnetik bernama MagNav disebut mampu menentukan posisi dengan akurasi centimeter tanpa mengandalkan satelit. Sistem ini memanfaatkan bagian yang disebut sebagai sidik jari medan magnet di permukaan Bumi.
Sementara itu, sistem navigasi kuantum atau quantum navigation yang dikembangkan untuk penggunaan militer dan sipil, menggunakan relativitas dan partikel kuantum untuk menentukan lokasi tanpa sinyal satelit.
Sistem ini mengusung beberapa keunggulan, di antaranya yaitu akurasi yang jauh lebih tinggi, terutama di area sinyal buruk seperti bawah laut, dalam ruangan atau di antara gedung tinggi, juga ketahanan terhadap gangguan sinyal, spoofing atau jamming karena tidak bergantung sepenuhnya pada satelit publik.
Tidak hanya itu, sistem ini juga mengunggulkan efisiensi daya yang bisa lebih baik pada beberapa sistem alternatif karena tidak harus mengandalkan komunikasi berjarak jauh terus-menerus, serta potensi aplikasi baru seperti pelacakan logistik indoor, kendaraan otonom, drone, hingga militer dalam lingkungan tertutup atau kondisi ekstrem.
Kendati prospek teknologi baru sangat menjanjikan, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dilewati sebelum benar-benar menggantikan GPS publik seperti yang kita kenal saat ini. Salah satu tantangan tersebut adalah infrastruktur global untuk teknologi pengganti perlu dibangun secara masif, misalnya peta medan magnet global, node kuantum atau sensor lokal di lapangan.
Tantangan lainnya termasuk standarisasi dan interoperabilitas antar negara dan sistem agar perangkat tetap bisa berfungsi lintas negara, serta regulasi dan keamanan data karena sistem lebih kritikal, maka pengamanan dan regulasi penggunaannya menjadi lebih rumit.
Biaya adaptasi perangkat pengguna juga dinilai sejumlah pihak akan menjadi tantangan yang harus dilewati, sebab perangkat baru berpotensi membutuhkan sensor khusus atau chipset tambahan, sehingga perlu waktu agar komunitas pengguna umum bisa berpindah.
Di Indonesia, sistem ini dinilai akan menyuguhkan potensi manfaat sangat besar mengingat kondisi geografis Tanah Air luas, banyak area terluar, serta jaringan satelit yang terkadang sulit dijangkau. Teknologi baru bisa meningkatkan layanan navigasi, pelacakan logistik hingga layanan darurat di lokasi terpencil.
Bagi pengguna, perubahan ini dapat membawa manfaat konkret dalam waktu mendatang, misalnya peta yang lebih akurat saat bepergian, layanan ride hailing dengan titik jemput antar lebih tepat, maupun aplikasi logistik yang bisa masuk ke gang sempit atau area tanpa sinyal satelit kuat.
Di ranah industri, sektor seperti transportasi, pertanian presisi, pertambangan, kelautan dan militer akan menjadi pengguna awal teknologi ini. Kemampuan melacak posisi dalam kondisi ekstrem atau di lokasi terpencil memberi keunggulan kompetitif besar.
Kendati sudah dalam tahap riset dan uji coba, implementasi global besar-besaran sistem ini diperkirakan baru akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang. Namun, perkembangan cepat dalam komputasi kuantum, sensor medan magnet, dan kebutuhan navigasi yang kian rumit, seperti mobil otonom, drone layanan, bisa mempercepat adopsinya.
Industri teknologi besar dan lembaga riset militer disebut telah memasukkan sistem-navigasi alternatif dalam roadmap mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id