Namun, di tengah tantangan ini, inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai harapan baru untuk mitigasi bencana dan peningkatan ketahanan pangan.
Dari pegunungan rawan longsor di Wonogiri, Jawa Tengah, hingga laboratorium riset di California, Amerika Serikat, para inovator Indonesia membuktikan bahwa AI dapat menjadi instrumen yang efektif dalam menghadapi krisis iklim dan membangun masa depan yang tangguh serta berkelanjutan.
Salah satu contoh nyata adalah proyek G-Connect dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Wonogiri. Daerah yang dulunya sulit dijangkau teknologi ini kini memiliki sistem mitigasi bencana berbasis AI yang dibangun bersama komunitas lokal.
Lebih dari 30 sensor tanah dipasang di titik-titik rawan longsor, mengirimkan data pergerakan tanah melalui jaringan solar-powered ke platform cloud Microsoft Azure. Data ini kemudian divisualisasikan secara sederhana melalui Power BI dan ditampilkan di berbagai lokasi strategis seperti kantor desa, masjid, poskamling, hingga sekolah dasar. Masyarakat diajarkan cara membaca pola pergerakan tanah untuk memahami kondisi aman atau bahaya.
“Kalau grafiknya konsisten, berarti tanahnya aman. Tapi kalau polanya mulai berubah, berarti ada pergerakan. Warga sudah bisa baca itu sendiri sekarang,” ujar Mardhani Riasetiawan, Associate Professor di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM dan Ketua Tim G-Connect.
Sistem peringatan dini pun disampaikan secara human-centered, melalui relawan di setiap RT dan pengeras suara masjid, serta penanda warna di setiap rumah untuk memudahkan evakuasi.
Kisah inspiratif lainnya datang dari Ester Rosdiana Sinaga, seorang peneliti dan mahasiswa studi magister hortikultura dan agronomi di UC Davis, California.
Tumbuh di keluarga petani di Sumatera Utara, Ester menyaksikan langsung dampak perubahan iklim terhadap pola tanam dan produktivitas lahan. Keterlibatannya dalam isu lingkungan mendorongnya mendalami pertanian berkelanjutan dan konservasi tanaman herbal.
Di UC Davis, Ester melakukan riset tentang tanaman yang ditanam oleh diaspora Indonesia di AS, dengan harapan dapat mengidentifikasi varietas tahan iklim ekstrem dan mendukung diversifikasi pangan di Indonesia. Tanpa latar belakang IT, Ester belajar coding untuk mendukung analisis genetika dan genomik tanaman. Ia memanfaatkan AI sebagai co-pilot untuk troubleshooting error, mempercepat analisis data, dan membuat visualisasi.
“AI bukan untuk menggantikan peneliti, tapi mendampingi. Saya tetap pakai pemikiran sendiri, tapi AI bisa bantu saya mencari sudut pandang baru atau mengecek hal-hal teknis yang sering luput,” jelas Ester. Ia juga melihat potensi besar AI untuk pertanian Indonesia, seperti sensor tanah, drone monitoring, prediksi cuaca, hingga diagnosis penyakit tanaman melalui aplikasi.
Kedua kisah ini lahir dari program elevAIte Indonesia, inisiatif dari Microsoft, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) Republik Indonesia, dan 22 mitra yang bertujuan membekali 1 juta talenta Indonesia dengan keterampilan AI. Hingga kini, program ini telah melatih lebih dari 735 ribu peserta dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, ASN, guru, pelaku UMKM, hingga petani dan komunitas adat.
“Teknologi AI tidak hanya membuka peluang baru, tetapi juga mengubah cara kita bekerja dan berinovasi. Namun, manfaat AI baru dapat dirasakan sepenuhnya jika masyarakat memiliki keterampilan yang tepat untuk menggunakannya,” kata Arief Suseno, AI National Skills Director, Microsoft Indonesia.
Melalui elevAIte Indonesia, diharapkan semakin banyak masyarakat yang mampu mengembangkan solusi berkelanjutan untuk tantangan nyata di komunitas mereka.
Dengan inisiatif seperti elevAIte Indonesia, masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan bagi Indonesia bukan lagi sekadar harapan, tetapi sebuah kemungkinan yang semakin nyata berkat kekuatan AI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News