Ilustrasi: Crowdstrike
Ilustrasi: Crowdstrike

Waspada Karyawan Hantu, Deepfake dan AI Susupi Perusahaan Teknologi

Mohamad Mamduh • 24 Desember 2025 11:06
Jakarta: Lanskap ancaman siber global kini menghadapi evolusi yang menakutkan di mana batas antara realitas dan penipuan digital semakin kabur. 
 
Laporan terbaru dari CrowdStrike mengungkap tren mengkhawatirkan: peretas yang didukung negara Korea Utara kini menggunakan kecerdasan buatan generatif (GenAI) dan teknologi deepfake untuk melamar pekerjaan, memenangkan sesi wawancara, dan menyusup ke dalam perusahaan sebagai karyawan TI jarak jauh.
 
Dalam 2025 Threat Hunting Report, CrowdStrike menyoroti kelompok ancaman bernama FAMOUS CHOLLIMA, sebuah kelompok lawan yang berafiliasi dengan Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK).

Kelompok ini telah mengindustrialisasi skema ancaman orang dalam (insider threat) dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam 12 bulan terakhir saja, FAMOUS CHOLLIMA berhasil menyusup ke lebih dari 320 perusahaan, menandai peningkatan aktivitas sebesar 220% dari tahun ke tahun.
 
Modus operandi kelompok ini sangat canggih dan sepenuhnya memanfaatkan celah dalam proses perekrutan jarak jauh. Proses penipuan dimulai sejak tahap administrasi, di mana mereka menggunakan alat GenAI untuk menyusun resume dan surat lamaran yang sangat meyakinkan, serta memalsukan identitas digital.
 
Mereka bahkan menggunakan basis data foto yang bocor dari alat pengeditan foto AI untuk membuat profil media sosial dan dokumen identifikasi palsu agar terlihat seperti kandidat yang sah.
 
Namun, aspek paling mencengangkan terjadi pada tahap wawancara video. Laporan tersebut mencatat bahwa operator FAMOUS CHOLLIMA kemungkinan besar menggunakan teknologi deepfake waktu nyata (real-time) untuk menyembunyikan wajah asli mereka saat berhadapan dengan perekrut.
 
CrowdStrike menemukan bukti bahwa operator ini mencari dan menggunakan aplikasi penukar wajah AI seperti "Hacksider" dan membayar langganan premium untuk memuluskan aksi mereka.
 
Selain memanipulasi visual, mereka juga menggunakan Model Bahasa Besar (LLM) untuk menjawab pertanyaan wawancara teknis dan menyelesaikan tugas pengkodean (coding assignments) secara langsung. Penggunaan AI ini memungkinkan mereka tampil jauh lebih fasih berbahasa Inggris dan tampak lebih kompeten secara teknis daripada kemampuan asli mereka, sehingga memperbesar peluang mereka untuk mendapatkan tawaran pekerjaan.
 
Setelah berhasil direkrut, para "karyawan hantu" ini tidak bekerja secara normal. Mereka sering kali memegang tiga hingga empat pekerjaan di perusahaan berbeda secara bersamaan. Untuk mengatasi beban kerja dan keterbatasan bahasa, mereka sangat bergantung pada asisten kode GenAI seperti Microsoft Copilot atau VSCodium untuk menyelesaikan tugas harian.
 
Mereka juga menggunakan alat penerjemah berbasis AI untuk berkomunikasi dengan tim melalui email dan aplikasi pesan instan, memastikan tata bahasa dan konteks teknis terlihat akurat. Hal ini memungkinkan mereka mempertahankan akses di dalam jaringan perusahaan—posisi strategis yang dapat digunakan untuk eksfiltrasi data, penyebaran malware, atau keuntungan finansial bagi rezim negara asal mereka.
 
Menghadapi ancaman ini, metode verifikasi tradisional tidak lagi memadai. CrowdStrike merekomendasikan perusahaan untuk menerapkan tantangan deepfake waktu nyata selama sesi wawancara video, seperti meminta kandidat melakukan gerakan fisik tertentu yang sulit dipalsukan oleh filter AI.
 
Selain itu, tim keamanan TI disarankan untuk memantau saluran komunikasi karyawan untuk mendeteksi tanda-tanda penggunaan alat terjemahan yang tidak wajar atau pengelolaan banyak akun secara bersamaan. Verifikasi identitas yang ketat dan validasi perangkat keras juga menjadi kunci untuk mencegah "karyawan hantu" ini mendapatkan akses ke jantung infrastruktur perusahaan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan