Kelompok Cybercrime-as-a-Service (CaaS) menjadi semakin terspesialisasi, sementara pelaku ancaman mulai mengadopsi panduan serangan yang menggabungkan ancaman digital dan fisik untuk melancarkan serangan yang sangat terarah dan berdampak.
Laporan yang dikembangkan oleh FortiGuard Labs ini menganalisis evolusi metode serangan tradisional, tren baru yang membentuk masa depan kejahatan siber, serta memberikan rekomendasi praktis bagi organisasi untuk memperkuat ketahanan mereka.
Laporan ini memberikan pandangan ke depan tentang tantangan yang ditimbulkan oleh lanskap ancaman yang terus berubah dengan cepat, sekaligus membekali bisnis dengan wawasan yang diperlukan untuk secara proaktif menghadapi ancaman siber yang semakin canggih.
Seiring dengan terus berkembangnya taktik pelaku kejahatan siber, tahun 2025 diperkirakan akan membawa gelombang baru serangan yang sangat terfokus dan didukung oleh AI.
"Mulai dari meningkatnya layanan Cybercrime-as-a-Service hingga konvergensi antara ancaman siber dan fisik, tren ini mencerminkan bagaimana para pelaku ancaman mendorong batasan untuk melancarkan serangan yang lebih presisi dan berskala besar," kata Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia.
"Prediksi kami menegaskan pentingnya bagi organisasi untuk mengantisipasi dan beradaptasi dengan lanskap ancaman yang semakin dinamis."
Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku kejahatan siber semakin banyak menghabiskan waktu “di fase booming” (left of boom), khususnya pada tahap pengintaian dan persenjataan dalam rantai serangan siber (cyber kill chain). Akibatnya, aktor ancaman kini dapat melancarkan serangan yang lebih terarah dengan cepat dan presisi.
Sebelumnya, banyak penyedia Crime-as-a-Service (CaaS) bertindak sebagai 'serba bisa'—menyediakan segala yang dibutuhkan pembeli untuk melakukan serangan, mulai dari kit phishing hingga muatan berbahaya. Namun, kelompok CaaS akan semakin beralih ke spesialisasi, dengan banyak kelompok fokus pada menyediakan layanan yang menargetkan hanya satu segmen tertentu dari rantai serangan.
Meskipun perangkat edge tetap menjadi target utama bagi pelaku ancaman, ada bagian lain dari permukaan serangan yang harus mendapatkan perhatian serius dari para pembela keamanan di tahun-tahun mendatang: lingkungan cloud mereka.
Teknologi cloud bukan hal baru, tetapi minat pelaku kejahatan siber terhadapnya terus meningkat. Mengingat sebagian besar organisasi mengandalkan berbagai penyedia layanan cloud, tidak mengherankan jika semakin banyak kerentanan khususnya cloud dimanfaatkan oleh penyerang—tren yang diperkirakan akan terus berkembang di masa depan.
Beragam vektor serangan dan kode terkait kini tersedia di pasar Crime-as-a Service (CaaS), seperti kit phishing, Ransomware-as-a-Service, DDoS-as-a-Service, dan lainnya. Meskipun beberapa kelompok kejahatan siber sudah mulai memanfaatkan AI untuk memperkuat layanan CaaS mereka, tren ini akan semakin berkembang.
Penyerang akan memanfaatkan output otomatis dari LLM (Large Language Model) untuk mendukung layanan CaaS dan memperluas pasar, misalnya dengan memanfaatkan hasil pengintaian media sosial dan mengotomatisasi intelejen tersebut menjadi kit phishing yang dikemas secara rapi.
Pelaku kejahatan siber terus mengembangkan strategi mereka, dengan serangan yang semakin agresif dan destruktif. Mereka akan memperluas playbook dengan menggabungkan serangan siber dan ancaman fisik di dunia nyata. Saat ini, beberapa kelompok kejahatan siber sudah mulai mengancam fisik eksekutif dan karyawan sebuah organisasi, dan kami memperkirakan hal ini akan menjadi bagian rutin dari banyak playbook di masa depan.
Seiring dengan terus berkembangnya strategi pelaku kejahatan siber, komunitas keamanan siber global juga dapat mengembangkan langkah-langkah responsif yang setara. Upaya kolaborasi global, kemitraan antara sektor publik dan swasta, serta pengembangan kerangka kerja untuk menghadapi ancaman adalah langkah-langkah penting untuk meningkatkan ketahanan kolektif.
Berbagai upaya terkait—seperti Cybercrime Atlas dari World Economic Forum, yang didukung oleh Fortinet sebagai anggota pendiri—sudah berjalan, dan kami memperkirakan lebih banyak inisiatif kolaboratif akan muncul untuk secara signifikan mengganggu aktivitas kejahatan siber.
Organisasi harus ingat bahwa keamanan siber adalah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya tim keamanan dan TI. Misalnya, penerapan kesadaran dan pelatihan keamanan secara menyeluruh di seluruh perusahaan merupakan komponen penting dalam mengelola risiko.
Terakhir, pihak lain juga memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan dan mematuhi praktik keamanan siber yang kuat, mulai dari pemerintah hingga vendor yang memproduksi produk keamanan yang kita andalkan.
Tidak ada organisasi atau tim keamanan yang dapat menghentikan kejahatan siber sendirian. Dengan bekerja sama dan berbagi informasi intelijen di seluruh industri, secara kolektif berada dalam posisi yang lebih baik untuk melawan pelaku ancaman dan melindungi masyarakat secara efektif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
                    Google News
                
            Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
 
   
	 
                     
                     
                     
                     
                    