Dalam kasus yang dilayangkan tahun 2014 tersebut, pemerintah Australia menggutat Valve karena layanan gaming Steam dianggap melanggar hukum perlindungan konsumen di Australia.
Menurut PC GAMER, pelanggaran tersebut terdapat di sistem Steam Refund yang memungkinkan pengguna Steam mendapatkan uangnya kembali jika game yang dimainkan tidak sesuai dengan harapannya.
"Pengadilan menemukan Valve sebagai perusahaan yang menjalankan bisnisnya di Australia, dengan demikian mereka harus mengikuti hukum yang berlaku di Australia," ujar Chairman ACCC, Rod Sims.
"Pengadilan juga menemukan adanya representasi yang mengakibatkan kesalahpahaman bagi konsumen di sistem Steam Refund yang dihadirkan oleh Valve. Hal tersebut terdapat di bagian syarat dan ketentuan tertulis yang bisa menimbulkan kesalahpahaman dan merugikan konsumen Australia."
ACCC juga mengatakan pemenangan kasus ini sangat penting bagi hukum konsumen Australia ke depannya.
Dengan demikian, tidak ada perusahaan asing yang sembarangan menentukan aturannya sendiri dan tidak mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal perlindungan konsumen.
ACCC berharap Valve mau mengganti kebijakan Steam Rufund-nya sehingga bisa disesuaikan dengan hukum perlindungna konsumen di Australia.
Steam Refund merupakan kebijakan yang diterapkan Valve dan memungkinkan pengguna Steam untuk mendapatkan uangnya kembali namun dengan syarat khusus.
Batas waktu pembelian adalah 14 jam dan pemain hanya dapat memainkan game tersebut maksimal dua jam. Jika melebihi batas yang ditentukan maka game tidak bisa di-refund.
Karena ditetapkan bersalah, Valve kemungkinan harus membayar denda sebesar AUD3 juta atau sekitar Rp31 miliar ke pemerintah Australia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id