Ternyata, takjiljuga populer dan digemari oleh masyarakat non-muslim, sehingga hal ini membuat suasana Ramadan 2024 menjadi lebih cair dan ceria. Di lain sisi, peringatan hari besar agama lain cenderung dapat disebut tak seceria bulan Ramadan.
Bahkan sering muncul pertanyaan dan pernyataan provokatif, misalnya terkait pengucapan selamat Natal. Apakah ini termasuk intoleran?
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rachmad K Dwi Susilo, mengatakan, takjil tidak berdimensi agama ritual, namun lebih ke kedermawaan sosial. Sehingga, kelompok non Islam pun bisa masuk dan tidak ada beban untuk menikmatinya.
“Jika masalah ucapan hari raya Natal ini tergantung individunya. Cukup hormati dan hargai perayaan agama lain dengan tidak mengecamnya,” katanya, Sabtu 23 Maret 2024.
Lalu bagaimana agar hari perayaan agama itu bisa sama-sama dinikmati oleh agama lain? Menurut Rachmad, agama lain harus membuka ruang publik sehingga semua agama bisa turut terlibat dalam suasana saling menghormati dan penuh kegembiraan.
Tetapi pemerintah memang butuh tindakan yang hati-hati, agar tidak masuk wilayah keyakinan personal. Kemudian, perlu ide pemerintah untuk membangun inklusivitas. Pemerintah bisa menyediakan kelembagaan yang bernama rumah bersama antar umat beragama.
Forum tersebut harus produktif, menghasilkan kerja-kerja kolektif yang inklusif. Sehingga, semua kelompok bisa terlibat tanpa menyentuh aspek-aspek asasian atau aspek personal agama tersebut.
Jika rutin bertemu, tidak akan muncul kecemburuan, superioritas, dan merasa agama yang paling bagus. “Jika telah mengalami kelembagaan, kelak akan cair dengan sendirinya. Kalau kita tidak pernah bertemu dengan penganut agama lain dan memiliki tafsir tersendiri terhadap mereka, nanti akan mudah terprovokasi,” jelasnya.
Ia mengaku, sejak kecil, anak jangan di sosialisasikan seakan-akan agamanya lebih bagus dan dikomparasikan dengan agama lain. Jika dibandingkan, maka bisa memicu permusuhan. Konstruksi sosial mengenai agama perlu di bangun sejak kecil dan dimulai dari lembaga keluarga.
Dengan itu, Rachmad berharap tidak akan ada keluarga yang mengalami disorganisasi atau fungsi fungsi yang hilang antar hubungan orang tua dengan anak. Contohnya, orang tua terlalu sibuk bekerja sehingga dititipkan kepada orang lain.
"Jika seperti itu, maka mereka tidak bisa mengontrol sang anak dengan baik. Padahal keluarga menjadi tempat pertama dalam mengajarkan toleransi," bebernya.
Baca juga: Sejuknya Toleransi Saat Warga Nonmuslim Ikut Berburu Takjil |
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (CEU)