Jakarta: Rancangan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sampai saat ini belum kunjung disahkan. Pasalnya, KPU masih melakukan proses harmonisasi dan konsultasi dengan pembentuk undang-undang terkait hadirnya putusan
Mahkamah Agung (MA) yang mengubah penghitungan syarat usia kepala daerah.
Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menyangkan berlarut-larutnya pengesahan rancangan PKPU tersebut. Padahal, aturan itu sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan prosedur atas proses pencalonan yang sebenarnya sudah berlangsung, yakni bagi bakal pasangan calon perseorangan.
"Pengesahan yang terhitung lambat ini juga bisa memperburuk spekulasi di ruang publik terkait pencalonan dan konfigurasi politik 2024," kata Titi kepada
Media Indonesia, Selasa, 18 Juni 2024.
Saat dikonfirmasi, anggota KPU RI Idham Holik menyebut proses harmonisasi rancangan PKPU itu bersama Kementerian Hukum dan HAM belum rampung. Pihaknya juga sedang berkirim surat dengan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang. Terhadap pemerintah, khususnya, konsultasi dilakukan KPU untuk mengetahui dengan jelas kapan pelantikan calon kepala daerah terpilih Pilkada 2024 bakal dilaksanakan.
"Jadwal pelantikan kan tidak prediktif, kan nanti ada sengketa, ada PSU (pemungutan suara ulang) juga mungkin. Tergantung pemerintah," jelas Idham.
Pada Rabu, 29 Mei 2024, di tengah tahapan pencalonan kepala daerah jalur perseorangan atau independen sedang berjalan, MA mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 atas uji materi yang diajukan Partai Garuda.
Lewat putusan tersebut, MA mengubah tafsir penghitungan syarat usia minimum calon kepala daerah, dari yang sebelumnya sejak ditetapkan sebagai pasangan calon menjadi sejak dilantik menjadi pasangan calon terpilih. Saat putusan itu keluar, KPU sebenarnya sedang melakukan harmonisasi rancangan PKPU mengenai pencalonan kepala daerah.
Bagi Titi, persoalan yang timbul akibat putusan MA sebenarnya sederhana jika KPU berorientasi pada kepastian dan keadilan kompetisi. Ia menegaskan, putusan MA memang tetap harus dihormati karena sifatnya final dan mengikat. Namun, putusan itu tidak dapat diakomodir pada Pilkada 2024.
Alasan utamanya, tahapan pencalonan pilkada sudah berlangsung sejak beberapa waktu lalu, khususnya calon dari jalur perseorangan yang sudah menyerahkan syarat dukungan bakal calon dan menjalani verifikasi administrasi.
"Tidak mungkin prosesnya dibongkar ulang hanya untuk mengakomodir putusan MA, sebab hal itu bisa mengakibatkan kacau balaunya tahapan dan terganggunya proses pilkada secara menyeluruh," ujar Titi.
Di sisi lain, Pilkada 2024 belum menganut keserentakan pelantikan. Jika KPU ingin menerapkan putusan MA, Titi menyebut perlu ada penataan jadwal pelantikan seluruh calon kepala daerah terpilih yang ajeg seperti halnya pada pilpres. Dengan demikian, tidak akan terganggu atau terkendala oleh adanya PSU maupun kondisi luar biasa lainnya.
"KPU mestinya fokus sebagai penyelenggara pemilu dan asas prinsip yang mengikat mereka dalam bekerja, serta jangan terpengaruh oleh anasir politik yang bisa mengganggu kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu," ungkap Titi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((END))