Antara Foto /Indrianto Eko Suwarso: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan pidato pada acara Mandiri Investment Forum 2020 di Jakarta, Rabu (5/02)
Antara Foto /Indrianto Eko Suwarso: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan pidato pada acara Mandiri Investment Forum 2020 di Jakarta, Rabu (5/02) (Asep Setiawan)

Asep Setiawan

Anggota Dewan Pers

Indonesia Perlu Antisipasi Perubahan Global

Asep Setiawan • 01 Juli 2020 08:00
PERUBAHANglobal akibat pandemi Covid-19 sudah dirasakan setiap orang yang hidup di planet bumi. Bahkan perubahan sudah dirasakan oleh berbagai negara yang menghadapi pandemik ini.
 
Sampai 28 Juni dari data yang dirilis Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sekitar 9,7 juta orang sudah terkena virus corona yang diketahui berasal dari Wuhan Desember 2019. Dari jumlah tersebut, di tingkat global sekitar 494 ribu orang meninggal dan 2.754 di antaranya meninggal di Indonesia.
 
Dengan penyebaran di dunia mencapai 216 negara maka tidak dapat disangsikan lagi inilah wabah paling hebat di awal abad ke-21 ketika dunia bersiap menghadapi era baru globalisasi di berbagai sektor. Berbagai perkiraan pertumbuhan ekonomi yang semula optimis di akhir 2019, maka sampai Juni berbagai data menunjukkan situasi ekonomi dunia menuju resesi.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Dengan tingkat korban yang terus bertambah serta situasi ekonomi, sosial, dan budaya yang tidak menentu ini jelas bahwa kehidupan umat manusia tidak lagi akan sama dengan berbagai perkiraan dari lembaga apapun yang kredibel. Variabel pandemi ini telah mengubah perjalanan hidup manusia, baik interaksi antarmanusia maupun interaksi antarnegara.

Di sinilah Indonesia perlu dengan cerdas mengantisipasi tantangan ke depan dari berbagai sisi sehingga bisa selamat dari gelombang besar dunia yang tidak menguntungkan.


Berbagai perkiraan sudah disampaikan. Sebutlah misalnya Robin Nibblet dari Harvard Kennedy School yang mengatakan corona virus ini memaksa pemerintah, perusahaan dan masyarakat memperkuat kapasitasnya dalam periode tertentu dengan isolasi diri ekonomi. Ini artinya globalisasi tidak seperti sekarang di mana setiap unsur di dalamnya hidup dengan saling menguntungkan. China sentris
 
Pakar internasional terkenal dari National University of Singapore Kishorea Mahbubani sebaliknya mengatakan pandemi ini tidak akan mengubah arah ekonomi global. Namun demikian, perubahan itu akan dipercepat dengan globalisasi yang menjauh dari Amerika sentris menjadi lebih China sentris.
 
Profesor emeritus Hubungan Internasional Joseph S Nye seperti mengamini Mahbubani dengan mengatakan bahwa strategi keamanan nasional Amerika yang baru tidak cukup kuat dengan adanya pandemi virus corona.
 
Bahkan Nye menyebutkan Amerika Serikat gagal melakukan penyesuaian terhadap dunia baru ini. Lalu G. John Ikenberry menyebutkan bahwa pandemi virus corona akan menyebabkan Barat lebih nasionalis meskipun dalam jangka panjang internasionalisme yang lebih pragmatis dan protektif akan lahir.
 
Dalam tulisan ini akan disinggung dua hal saja yang perlu diantisipasi Indonesia. Pertama, politik global yang sedang menghadapi transformasi dari Amerika Serikat sentris ke China sentris dan apa konsekuensinya bagi Indonesia. Kedua, ekonomi global jelas menghadapi resesi yang diperkirakan akan parah sehingga pertumbuhan ekonomi di banyak negara turun drastis.
 
Sejumlah perkiraan muncul mengenai bagaimana perilaku China yang dengan cepat dan efektif mengantisipasi covid-19 ini dengan angka korban dilaporkan resmi sekitar 4.600 orang. Meskipun angka ini ditanggapi skeptis namun jauh dari angka korban di Inggris sekitar 43 ribu, Italia yang mencapai 34 ribu orang dan Amerika Serikat dengan sekitar 124 ribu orang.
 
Jadi politik global ini akan semakin tampak lebih menguntungkan China daripada Amerika Serikat dan sekutunya. Jika kemudian politik global ini lebih condong memberikan ruang bagi China untuk bermanuver maka seperti apa posturnya.
 
Postur China sebagai pendatang baru dalam menggeser Amerika Serikat untuk pengaturan tata kelola dunia tidak akan terjadi secara instan. Kalau dalam empat dekade ini modal ekonomi China sudah terbina ditambah lagi penguasaan teknologi yang didukung konglomerat dunia yang bermain di Barat melalui pasar modal, maka pijakan China sudah lumayan kuat. Namun dalam aspek politik global, Amerika Serikat dan sekutunya masih belum tergoyahkan.
 
Sekutu China sedikit
 
Kelemahan China adalah sedikitnya sekutu politik di tataran global. Karena ideologi komunis dan sistem pemerintah yang sentral, maka perilaku global China lebih condong bersifat ekonomi daripada politik aliansi. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang menjalin persekutuan di berbagai belahan bumi dari Pasifik sampai Atlantik.

Indonesia sudah dalam posisi menikmati hubungan baik dengan kekuatan global nyata ini namun apa yang dapat diperoleh dari China? Di sudut investasi, Indonesia mendapatkan sesuatu dari China meskipun kelemahannya ada di dalam negeri dari sisi stigma komunis di hadapan publik.


Jadi, perubahan tatanan global jika dihitung sekarang tidak merugikan Indonesia. Dapat dihitung karena hubungan baik ini investasi China di Indonesia saat ini cukup besar. Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat tahun 2019 investasi dari China senilai 3,31 milyar dollar Amerika yang dialirkan ke 1.888 proyek.
 
Sebelumnya, tahun 2014 China mengalirkan investasi sebesar 800,02 juta dollar Amerika ke Indonesia untuk 501 proyek. Setelah itu, tahun 2015 investasi China turun menjadi 628,33 juta dollar Amerika untuk 1.234 proyek.
 
Tahun 2016, nilai investasi meningkat menjadi 2,66 miliar dollar Amerika untuk 1.234 proyek. Tahun 2017, investasi China naik lagi menjadi 3,36 miliar dollar Amerika bagi 1.977 proyek.
 
Tahun 2018 investasinya turun lagi menjadi 2,37 miliar dollar Amerika untuk 1.562 proyek. Ini tandanya kekuatan global baru membuka kerjasama dengan Indonesia.
 
Antisipasi ekonomi global
 
Inggris pada kuartal pertama ini diketahui pertumbuhan ekonominya -20. Dengan kondisi ini di sebuah negara maju di Eropa, maka tidak mudah juga dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia yang semula sehat dengan angka lima persen.
 
IMF memperkirakan akan terjadi pertumbuhan dunia -5 persen (minus lima persen). Bank Dunia juga hampir sama dengan IMF sedangkan Bank Pembanguna Asia memproyeksikan Asia akan tumbuh di kisaran dua persen.
 
Antisipasi bagi Indonesia adalah ekspor nonmigas akan meredup sejalan dengan menurunnya tuntutan dari pasar internasional. Boleh juga dikatakan mungkin ekspor migas ke berbagai negara termasuk ke Jepang dan China akan mengalami penyesuaian.
 
Jadi, industri berorientasi ekspor perlu disesuaikan dengannew formalkarena dengan perkiraan menurunnya kinerja ekonomi setiap negara, maka permintaan barang juga akan menurun. Dapat diduga misalnya permintaan terhadapsmartphones edisi baru tidak akan setinggi tahun 2019.


Andalan Indonesia lainnya pariwisata juga tidak mudah meraih angka 20 juta per tahun dengan pemasukan sekitar 19 miliar dollar Amerika. Turis dari negara Asia seperti China jelas akan berkurang setelah sebelumnya jadi primadona.


Ekonomi global jelas tidak akan menguntungkan Indonesia ditambah lagi beban anggaran mengantisipasi kemiskinan yang juga tidak mudah. Semuanya perlu diperhitungkan secara terintegrasi, tidak hanya aspek nasional tetapi juga aspek internasional.
 
Dengan mengantisipasi situasi eksternal ini maka kebijakan internal, baik sisi ekonomi, sosial maupun ekonomi akan lebih tepat sasaran. Jangan sampai terulang krisis besar 1998 ketika negara menggelontorkan bantuan ratusan triliun namun menguap dilarikan konglomerat hitam.[]
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.
 

Pilar virus corona

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif