"Sebab ada yang disebut second wave atau gelombang kedua (covid-19). Tinggal kita monitor biar (penanganan covid-19) lebih bagus lagi," kata Ghufron dalam sidang Dies Natalis ke-66 Universitas Airlangga (Unair) di Kampus C Unair Surabaya, Senin, 9 November 2020.
Menurut Ghufron, percepatan inovasi ini juga membutuhkan sokongan anggaran yang lebih. Hal ini guna memaksimalkan produksi inovasi penanganan covid-19 buatan dalam negeri.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Ia membeberkan, pada masa awal pandemi, Indonesia harus mengimpor alat rapid test covid-19 dari luar negeri, utamanya Tiongkok. Menurut dia, salah satu faktornya yakni terbatasnya anggaran inovasi dalam negeri.
"Kalau ada Rp10 triliun (anggaran untuk inovasi), mohon maaf enggak perlu impor penanganan covid-19" ujar Ghufron.
Baca: Penggunaan Inovasi Penanganan Covid-19 Dinilai Belum Maksimal
Ia mengatakan, akademisi dari berbagai kampus telah membuktikan mampu menghasilkan inovasi penanganan covid-19 dengan cepat. Mulai dari alat rapid test, robot ners, hingga alat deteksi covid-19 dari hembusan napas (GeNose).
"(Dengan Rp10 triliun) 95 persen kami jamin kami sediakan dan usahakan dalam negeri," tambah Ghufron.
Kemenristek berkomitmen untuk terus mendorong peneliti dari universitas untuk menghadirkan inovasi. Saat ini, dia menyebut pemerintah terus mendorong adanya lebih banyak inovasi untuk penanganan covid-19. Termasuk, riset vaksin covid-19 yang sedang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair).
"Kami mengalokasikan dana untuk penelitian di Unair itu tahap satu kita biayai cukup lumayan, tahap dua kita biayai kembali, karena Unair aktif sekali. Nanti alat-alat lain juga kami berikan untuk percepatan agar kita bisa menghasilkam vaksin merah putih," terang dia.
(AGA)