"Bahkan dari tahun ke tahun hampir selalu menempati tiga besar setelah banjir, dan angin puting beliung," kata mahasiswa anggota tim pengembang, Tito Yudatama, mengutip laman Unsoed, Kamis, 21 Januari 2021.
Mahasiswa jurusan Fisika Fakultas MIPA Unsoed itu menyatakan, contoh lokasi rawan bencana pergerakan tanah paling dekat yakni di wilayah sekitar Unsoed. Contohnya Banyumas, Purbalingga, Wonosobo, Banjarnegara, dan wilayah sekitarnya. Hal tersebut memacunya untuk membuat sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Selain alasan bencana, permasalahan lainnya adalah harga yang mahal bagi masyarakat jika ingin memiliki EWS pergerakan tanah. Dibutuhkan minimal sekitar Rp3,5 juta hingga ratusan juta untuk memiliki EWS yang tersedia di pasar.
Baca: Pelampung Unik Besutan Mahasiswa Unair, Bisa Mencegah Hipotermia
Tito pun coba mengembangkan EWS yang memiliki rentang harga dapat dijangkau oleh masyarakat. Yakni rentang Rp350 ribu hingga Rp400 ribu.
EWS ini jadi pengembangan lanjutan alat deteksi dini milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Magelang. EWS dikembangkan dari segi desain yang berfokus pada fungsi, dibuat lebih tahan hujan, dual channel, hingga baterai yang dapat diisi ulang daya.
EWS ini telah dipresentasikan di BPBD Kabupaten Wonosobo untuk mendapat masukan lebih lanjut. Tito juga akan memasukannya ke dalam jurnal nasional bersama tim penulis.
Selain itu, jika mendapat persetujuan dari BPBD Banyumas, alat ini akan ihibahkan. Tito berencana mengadakan galang dana bersama beberapa organisasi mahasiswa dari Unsoed, dan komunitas di luar Unsoed guna membuat alat ini.
(AGA)