Pertanyaannya, mengapa banjir besar kembali melanda pada tahun 2025, meskipun berbagai upaya mitigasi telah dilakukan? Periset BRIN menjawab berbagai persoalan tersebut dan menekankan pentingnya sistem deteksi dini dalam menghadapi bencana di masa depan.
“Selain curah hujan ekstrem, faktor lingkungan seperti topografi dan perubahan tutupan lahan turut memperparah dampak banjir,” jelas Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA-BRIN), Reni Sulistyowati dalam seri webinar ke-2 yang bertajuk "Ngobrol tentang Banjir: Tantangan dan Harapan", dikutip dari laman BRIN, Senin, 17 Maret 2025.
Pada kesempatan tersebut, Reni juga mengungkapkan faktor-faktor di balik banjir besar di Bekasi dan sekitarnya. Menurutnya, fenomena klimatologi global seperti ENSO (El Niño-Southern Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole), dan MJO (Madden-Julian Oscillation) turut memperbesar curah hujan ekstrem di kawasan Benua Maritim Indonesia.
Data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) menunjukkan korelasi kuat antara curah hujan ekstrem dan peningkatan risiko banjir di sepanjang garis pantai Indonesia. "Namun, banjir itu tidak bisa hanya dipengaruhi oleh curah hujan. Banyak faktor lain yang berperan dalam terjadinya limpasan (run-off), seperti infiltrasi, evaporasi, aliran permukaan, air tanah, dan kondisi lingkungan sekitar," jelas Reni.
Dalam pemaparan, Reni juga mengungkapkan hasil riset yang menunjukkan, banjir pada 2025 lebih parah dibandingkan dengan banjir tahun 2020 dan 2022. Menurutnya, data curah hujan GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) mencatat intensitas hujan mencapai 21,37 mm/jam, dengan akumulasi harian 236,44 mm pada puncaknya (2–4 Maret).
Simulasi hidrologi dengan model Rainfall-Runoff-Inundation (RRI) menunjukkan bahwa area terdampak dengan genangan lebih dari 50 cm mencapai 43 km², sedangkan genangan di atas 100 cm mencakup 24 km².
Baca juga: Cyrtodactylus pecelmadiun, Nama Unik Cecak Spesies Baru dari Madiun |
Sirkulasi angin darat-laut (sea breeze) juga memperburuk kondisi dengan memicu hujan deras di malam hari dan di daerah aliran sungai (DAS) Bekasi, Cikeas, dan Cileungsi. “Kondisi DAS Kali Bekasi memerlukan perhatian serius karena infrastruktur yang ada belum memadai, ditambah dengan rendahnya kesadaran lingkungan dan lambatnya respons pemerintah,” jelas Reni.
Sementara itu, dari hasil survei tahun 2022 terhadap warga terdampak banjir di Jatirasa dan Bojongkulur menunjukkan minimnya perhatian pemerintah dalam mitigasi jangka panjang. Survei tersebut juga mengungkap bahwa komunitas lokal seperti KP2C (Komunitas Peduli Cileungsi-Cikeas) dan KOMPI (Komunitas Pencinta Lingkungan) memegang peran penting dalam membantu penanganan banjir.
Meski memiliki keterbatasan dana dan akses informasi, inisiatif mereka mampu membantu warga terdampak secara langsung.
Inovasi Teknologi untuk Mitigasi Bencana
Terkait dengan itu, Ketua Kelompok Riset Teknologi Kebencanaan dan Energi Perairan Darat (TKEPD) BRIN, Agustya Adi Martha mengungkapkan, BRIN tengah mengembangkan teknologi pemantauan bencana secara real-time."Kami mengembangkan berbagai instrumentasi hidrometeorologi untuk mendukung riset dan industri. Salah satu inovasi kami adalah sistem monitoring realtime yang mencakup pemantau kelembaban tanah dan alat deteksi longsor (AdeL)," jelasnya.
Agustya juga mengungkapkan bahwa BRIN telah mengembangkan perangkat Indonesian Structural Health Monitoring (INA-SHM) yang digunakan untuk memantau dampak gempa dan kondisi kekuatan struktur pada bendungan atau waduk. Selain itu, juga dikembangkan Automatic Weather System (AWS) yang dapat diintegrasikan dengan Sistem Monitoring Elevasi Gelombang Laut (SEGARA) untuk memantau ketinggian muka air laut secara real-time.
Agustya dan Tim juga akan mengintegrasikan sistem monitoring terpadu sebagai sistem early warning system (EWS) bencana Hidometeorologi, yang data dapat diakses olah para periset maupun BPBD serta lembaga terkait.
Modifikasi Cuaca sebagai Solusi Jangka Panjang
Dalam upaya mitigasi banjir, Heru Widodo, Perekayasa Ahli Utama sekaligus Ketua Kelompok Riset Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN, menjelaskan perkembangan signifikan dalam teknologi modifikasi cuaca (TMC) di Indonesia. Awalnya TMC difokuskan untuk menambah curah hujan di waduk dan sektor pertanian, kini mampu mengurangi intensitas curah hujan serta mengatasi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan."Kolaborasi antara BMKG dan BRIN ke depan memungkinkan penerapan TMC akan dapat berjalan secara cepat dan efektif yang didukung dengan pengembangan teknologi modifikasi cuaca dari hasil riset BRIN," ujarnya.
Heru menambahkan bahwa metode TMC untuk pengurangan curah hujan mencakup jumping process menggunakan pesawat terbang dan kompetisi uap air menggunakan Ground Particle Generator (GPG). “GPG terbukti mampu mengurangi curah hujan lebih dari 20% di area pertambangan dan dapat dioperasikan selama 24 jam, menggantikan pesawat yang hanya dapat beroperasi pada siang hari,” jelasnya
Sebagai langkah inovatif, Heru juga mengusulkan penggunaan roket TMC untuk operasi malam hari. China, misalnya, telah menggunakan 1.110 roket untuk mengendalikan cuaca selama Olimpiade 2008. Untuk itu, BRIN mendorong pengembangan teknologi serupa dengan dukungan peralatan, seperti Flying Laboratory for Atmospheric Research (FLARes), radar cuaca, dan alat survei lainnya.
“Kemandirian teknologi menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam mitigasi bencana. Harapannya, teknologi ini dapat diintegrasikan dalam sistem mitigasi banjir yang lebih komprehensif,” pungkas Heru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News