Kit diagnostik ekstrak alergen dalam bentuk patch transdermal inovasi Unair. Foto: Unair
Kit diagnostik ekstrak alergen dalam bentuk patch transdermal inovasi Unair. Foto: Unair

Tak Melulu Uji Tusuk, Tes Alergi Kini Bisa Pakai 'Plester' Inovasi Unair

Citra Larasati • 18 Maret 2023 11:00
Jakarta:  Kit diagnostik ekstrak alergen dalam bentuk patch transdermal innovasi tim peneliti Universitas Airlangga (Unair) mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berupa paten.  Riset tersebut dipimpin Prof apt Junaidi Khotib SSi MKes PhD.
 
Menurut Junaidi inovasi alat tes alergi tersebut berawal dari kasus alergi yang terus meningkat, utamanya di kalangan anak-anak.  Sebelumnya, untuk mendeteksi alergen atau zat pemicu alergi pada umumnya masih menggunakan uji tusuk kulit atau skin prick test.
 
Cara ini bersifat invasif, sehingga kadang menimbulkan goresan.  Untuk itu, Junaidi dan tim merancang alam deteksi alergi noninvasif lain yang aman digunakan segala usia,  Inovasi ini juga dapat menjadi deteksi dini yang dapat memudahkan pengujian pada penderita alergi.

Dekan Fakultas Farmasi Unair itu menerangkan, kit diagnostik alergen dikemas dalam bentuk patch transdermal, mirip dengan plester. Terdapat sembilan jenis ekstrak alergen dalam sediaan patch terdiri dari tungau debu rumah, udang, susu sapi, ikan laut, telur, gandum, kacang tanah, kelapa atau santan, dan serbuk sari.
 
Penggunaannya pun mudah, 'plester' tersebut tinggal ditempelkan pada permukaan kulit tubuh yang mudah diamati seperti area lengan atau punggung.  Penempelan itu pun tidak lama, hanya sekitar 15 menit saja.
 
Nantinya, ekstrak alergen pada patch akan berinteraksi dengan sel epitel kulit yang akan menghasilkan reaksi alergi. “Ekstrak alergen tersebut kita tanam diplester untuk diujikan. Misalnya, dari sembilan ekstrak akan ketahuan mana yang ada reaksi dan mana yang tidak. Kalau tetap tidak ada (reaksi) bentol atau warna merah berarti itu tidak alergi dan sebaliknya,” tutur Junaidi, dilansir dari laman Unair, Sabtu, 18 Maret 2023.
 
Junaidi mengatakan, kit diagnostik ekstrak alergen dalam bentuk patch transdermal ini bermanfaat untuk mengidentifikasi jenis alergen baik alergen ingestan (alergi makanan) dan alergen inhalan (terhirup melalui udara) dalam tubuh manusia. Selain itu, keunggulan patch dibuat dari bahan elastis yang tidak menimbulkan goresan maupun efek samping sehingga dapat dilakukan secara mandiri.
 
Lebih lanjut, ketika penderita mengetahui jenis alergen apa yang dialaminya maka bisa diminimalisasi dengan imunoterapi berupa desensitisasi secara berulang sampai penderita memiliki kekebalan yang lebih baik. Menurut Junaidi, pihaknya juga telah mengembangkan bahan ekstrak yang sama untuk terapi dalam bentuk tablet.

Uji Coba Skala Besar

Dari keterangan pakar ahli farmakologi molekuler itu, kit diagnostik ekstrak alergen kini sudah memasuki tahap uji coba skala besar dalam dua tahun terakhir. “Pada batch ketiga nanti selesai, maka bisa diproduksi yang akan bekerja sama dengan PT Bio Farma,” sambungnya.
 
Bagi Prof. Junaidi, tantangan dalam riset ini adalah saat proses mendesain patch agar bisa menempel dan melepas dengan baik. Kemudian, menjalin kerja sama dengan industri untuk hilirisasi dari inovasi yang ada.
 
“Harapan kami tentu ini bisa direalisasikan dan bisa diproduksi massal karena kemanfaatan untuk kemanusiaan jauh lebih besar. Oleh sebab itu, ketika produk ini beredar di masyarakat, kita juga akan menekan harga se-fair mungkin sehingga bisa dijangkau,” pungkas anggota ahli BPOM tersebut.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
 
Baca juga:  AG-ex, Pendeteksi Kanker Gaster Inovasi Mahasiswa UB

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan