Sementara Peneliti Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa mengatakan, sejumlah lokasi yang terlihat kosong, jangan buru-buru disebut sebagai daerah yang aman dari potensi tersebut. Namun, secara keilmuan disebut sebagai 'seismic gap'.
Seismic gap artinya, di daerah tersebut sangat memungkinkan untuk terjadi gempa besar kapan saja. Sehingga, kata Rahma, masyarakat harus menyikapi potensi gempa bumi Megathrust sebagai fenomena alam yang dapat dimitigasi.
Terlebih dengan banyaknya riset-riset yang telah dilakukan, dapat berkontribusi untuk mengurangi risiko gempa bumi megathrust tersebut.
"Megathrust beserta potensi gempanya adalah nyata, namun hal ini sebagai bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi,” tutur Rahma dikutip dari laman BRIN, Senin, 27 Oktober 2025.
Apa Itu Gempa Bumi Megathrust?
Rahma menjelaskan, secara harfiah gempa bumi megathrust adalah gempa yang disebabkan oleh patahan naik yang sangat besar. SedangkannIndonesia, dengan posisinya di antara ring of fire menjadikannya memiliki wilayah yang luas dan rentan terhadap megathrust.
Gempa bumi megathrust ini untuk kali pertama disorot publik pada 2011. Lalu direspons dengan semakin banyaknya riset dan penerapannya yang terus berkembang.
"Upaya untuk menjembatani antara riset dan kebijakan sangat penting untuk membangun mitigasi terhadap megathrust,” ujar Koordinator Kelompok Riset Geohazard Risk and Resilience itu.
Ia mengatakan, berdasarkan peta gempa 2017 yang sedang diperbarui dan diproyeksikan selesai pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak di sisi barat Sumatra hingga selatan Jawa.
"Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar,” jelasnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, untuk di selatan Jawa, megathrust terbentang sepanjang 1.000 km dengan bidang kontak selebar 200 km, yang menghujam hingga kedalaman sekitar 60 km, dan terus mengakumulasi energi yang siap dilepas kapan saja.
Sementara di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng samudra Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya ada lempeng kontinental. "Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng kontinental inilah yang disebut bidang megathrust,” ungkap Rahma, peneliti alumnus S3 Nagoya University ini.
Dalam konsep bencana terdapat hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi, dan pertumbuhan penduduk. Risiko bencana adalah fungsi dari bahaya dan kerentanan, yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan beradaptasi.
Kerentanan ini, kata Rahma, berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan. "Jika hal ini tidak ditingkatkan, sementara kita sudah tahu akan adanya bencana tetapi tidak mengambil tindakan apa-apa, maka kapasitas kita rendah, dan ini akan meningkatkan risiko bencana,” ujarnya.
Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik tentang gempa bumi megathrust untuk meningkatkan kapasitas adaptasi.
"Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti goncangan gempa permukaan dan surface rupture. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran,” ujarnya.
"Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan,” pungkasnya.
Gempa bumi megathrust ini untuk kali pertama disorot publik pada 2011. Lalu direspons dengan semakin banyaknya riset dan penerapannya yang terus berkembang.
"Upaya untuk menjembatani antara riset dan kebijakan sangat penting untuk membangun mitigasi terhadap megathrust,” ujar Koordinator Kelompok Riset Geohazard Risk and Resilience itu.
Ia mengatakan, berdasarkan peta gempa 2017 yang sedang diperbarui dan diproyeksikan selesai pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak di sisi barat Sumatra hingga selatan Jawa.
"Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar,” jelasnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, untuk di selatan Jawa, megathrust terbentang sepanjang 1.000 km dengan bidang kontak selebar 200 km, yang menghujam hingga kedalaman sekitar 60 km, dan terus mengakumulasi energi yang siap dilepas kapan saja.
Sementara di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng samudra Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya ada lempeng kontinental. "Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng kontinental inilah yang disebut bidang megathrust,” ungkap Rahma, peneliti alumnus S3 Nagoya University ini.
Dalam konsep bencana terdapat hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi, dan pertumbuhan penduduk. Risiko bencana adalah fungsi dari bahaya dan kerentanan, yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan beradaptasi.
Kerentanan ini, kata Rahma, berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan. "Jika hal ini tidak ditingkatkan, sementara kita sudah tahu akan adanya bencana tetapi tidak mengambil tindakan apa-apa, maka kapasitas kita rendah, dan ini akan meningkatkan risiko bencana,” ujarnya.
Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik tentang gempa bumi megathrust untuk meningkatkan kapasitas adaptasi.
"Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti goncangan gempa permukaan dan surface rupture. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran,” ujarnya.
"Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id