Dosen peneliti tidak tetap, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB), Kiki Adi Kurnia, menjelaskan elektrolit pada telepon genggam berada pada bagian baterai yang berfungsi membatasi anoda dan katoda. Reaksi yang dapat dihasilkan elektrolit dalam ponsel genggam ialah kenaikan suhu bahkan meledak.
Kiki menyebut kasus ledakan pada telepon genggam terjadi saat telepon digunakan terlalu lama. Sehingga mengalami kenaikan suhu atau karena telepon genggam diletakan di tempat yang panas.
"Dua kegiatan tersebut yang dapat membuat elektrolit pada baterai mengering dan menguap. Semakin kering elektrolit, maka posisi katoda dan anoda semakin mendekat. Ketika katoda dan anoda bertemu, ledakan pada telepon genggam terjadi,” kata Kiki dikutip dari laman itb.ac.id, Senin, 4 April 2022.
Kiki yang juga desainer Molekuler, yakni seorang desainer yang bertugas mendesain berbagai jenis bahan-bahan Kimia dapat memiliki manfaat dan fungsi yang lebih baik, mencari cara untuk mengatasi kasus telepon genggam yang meledak. Hal itu agar tidak terjadi kasus serupa di kemudian hari.
Kiki melakukan penelitian mendesain elektrolit lebih aman dan tidak mudah meledak. “Salah satu bahan yang saya gunakan untuk mendesain elektrolit yang lebih baik adalah ionic liquid atau cairan ionik," kata Kiki.
Dia menjelaskan cairan ionik memiliki konduktivitas tinggi. Sehingga, cairan ionik menjadi tidak mudah menguap dan terbakar.
Selain itu, ia juga memaparkan sudah banyak penelitian menunjukkan pemanfaatan ionic liquid dapat meningkatkan efisiensi kinerja dari baterai. Cairan ionik juga memiliki titik leleh tinggi, yaitu di angka 700 hingga 800 derajat celcius.
Proses desain cairan ionik juga harus melalui tahap penurunan titik leleh pada senyawa ionik. Sebagai contoh, NaCl didesain agar ikatannya lemah dengan cara mengubah Cl menjadi Br yang menghasilkan senyawa NaBr yang titik lelehnya turun menjadi 700 derajat celcius.
Selanjutnya, dilakukan lagi penyatuan ion lain seperti 1-butyl-3-methylimidazolium. Ukuran dari ion tersebut sangat besar sehingga dapat melemahkan ikatan anion dan kation.
Ketika ikatan ion menjadi lemah, maka titik leleh akan turun sangat drastis. Bahkan, beberapa cairan ionik memiliki fase cair pada suhu kamar.
“Hal ini sangat menguntungkan karena kita tidak perlu bekerja pada suhu yang terlampau tinggi,” jelas Kiki.
Dia mengungkapkan tantangan dari proses mendesain cairan ionik ialah banyaknya jumlah kation, anion, gugus fungsional, dan rantai samping. Banyaknya jumlah dari kation, anion, gugus fungsional, dan rantai samping tentunya akan membuat penelitian menjadi rumit, kompleks, dan lama.
Namun, proses desain cairan ionik ini dapat dilakukan dengan cepat melalui pendekatan komputasi. “Melalui pendekatan komputasi ini, penelitian yang tadinya dapat memakan waktu hingga 10 tahun dapat dipermudah dan diefisienkan hingga hanya membutuhkan 2 hari,” ungkap Kiki.
Selain itu, Kiki juga melakukan penelitian lain yaitu mendesain cairan ionik sebagai pelarut untuk produk gas metana. “Di alam, gas metana selalu berdampingan dengan CO2. Namun, dalam produksi gas metana, CO2 harus dipisahkan menggunakan alkanolamine,” papar Kiki.
Dalam kasus pemisahan ini, cairan ionik berperan vital untuk memisahkan CO2. Bahkan, cairan ionik juga dapat bermanfaat untuk proses ekstraksi bahan alam seperti antioksidan untuk berbagai jenis produk.
“Melalui penelitian ini, kesimpulan yang didapat adalah terbuktinya cairan ionik sebagai bahan kimia yang aman, tidak bersifat korosif, dan juga dapat meningkatkan efisiensi produksi,” jelas Kiki.
Baca: Kolaborasi Alumnus UI dan ITB Rintis Layanan Perawatan Kesehatan di Rumah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News