Perlindungan Kulit Sejak Zaman Kuno
Mengutip dari PMC NCBI, jauh sebelum istilah SPF populer, masyarakat di berbagai belahan dunia sudah berusaha melindungi diri dari panas matahari. Bangsa Mesir Kuno sekitar 3000 tahun sebelum masehi sudah menggunakan beras, melati, dan lupin untuk menjaga kulit tetap cerah.Penelitian modern membuktikan bahwa bahan-bahan itu memang bisa menyerap sebagian sinar ultraviolet (UV). Sementara di Yunani Kuno, orang-orang mengoleskan minyak zaitun sebagai pelindung alami kulit.
Bahkan, penelitian menemukan minyak zaitun punya kemampuan pelindung setara SPF 8. Di sisi lain, wanita bangsawan di Jepang abad ke-7 menggunakan bedak putih dari timbal dan merkuri untuk menjaga kulit pucat meski bahan itu kini diketahui berbahaya.
Awal Penemuan Ilmiah
Pada tahun 1801, ilmuwan Jerman Johan Wilhelm Ritter menemukan radiasi ultraviolet, sinar tak terlihat yang dapat menyebabkan kulit terbakar. Temuan ini jadi dasar bagi penelitian tentang perlindungan kulit dari sinar matahari.Beberapa tahun kemudian, pada 1891, dokter asal Jerman bernama Dr. Hammer memperkenalkan salep berbahan quinine untuk mencegah luka bakar akibat matahari. Formula ini dianggap sebagai sunscreen kimia pertama di dunia.
Setelah itu, Dr. Paul Unna mengembangkan produk bernama Zeozon dan Ultrazeozon berbahan ekstrak kastanye, meski teksturnya masih tebal dan belum nyaman digunakan.
Lahirnya Sunscreen Modern
Memasuki abad ke-20, inovasi sunscreen mulai berkembang pesat. Pada 1935, pendiri L’Oréal, Eugène Schueller, menciptakan Ambre Solaire, minyak untuk menggelapkan kulit (tanning oil) yang juga mampu menyaring sebagian sinar ultraviolet (UV).Kemudian pada 1944, Benjamin Green, apoteker sekaligus penerbang Angkatan Udara AS, membuat lotion pelindung berbasis petroleum untuk melindungi tentara selama Perang Dunia II. Produk itu akhirnya dikembangkan menjadi merek populer Coppertone Suntan Lotion.
Dua tahun setelahnya, Franz Greiter, ilmuwan asal Swiss, memperkenalkan produk Gletscher Crème (Glacier Cream) setelah kulitnya terbakar saat mendaki Gunung Piz Buin. Produk ini dianggap sebagai sunscreen modern pertama yang kemudian menginspirasi merek global Piz Buin.
Lahirnya Konsep SPF
Pada 1962, Franz Greiter kembali memperkenalkan konsep SPF (Sun Protection Factor) sebagai ukuran efektivitas sunscreen dalam melindungi kulit dari sinar UVB. Sejak itu, angka SPF menjadi standar global dalam setiap produk tabir surya.Baca juga: Gak Nyangka! Kulit Bawang Ternyata Bisa Jadi Sunscreen Anti Jerawat |
Mulai tahun 1978, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat menetapkan regulasi khusus untuk produk sunscreen agar aman dan efektif. Memasuki era 1980–1990-an, muncul formula tahan air dan perlindungan ganda terhadap sinar UVA dan UVB. Namun, para ilmuwan menemukan bahwa beberapa bahan kimia sunscreen dapat berdampak buruk pada ekosistem laut, terutama terumbu karang. Hal ini membuat beberapa wilayah seperti Hawaii melarang sunscreen dengan bahan oxybenzone dan octinoxate sejak 2018.
Dari salep quinine buatan Dr. Hammer di abad ke-19, lotion pelindung matahari Benjamin Green, hingga sunscreen modern berbahan mineral dengan teknologi canggih. Kini, sunscreen tak hanya berfungsi melindungi kulit dari sinar matahari, tetapi juga diformulasikan agar aman bagi lingkungan dan nyaman digunakan. (Syifa Putri Aulia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id