Geopark Gunung Sewu Karst Wonogiri. DOK wonogirikab.go.id
Geopark Gunung Sewu Karst Wonogiri. DOK wonogirikab.go.id

Penelitian UGM Ungkap 'Rebutan Lahan' di Balik Pengembangan Geopark

Renatha Swasty • 22 Mei 2025 20:04
Jakarta: Geopark sebagai kawasan wisata berbasis keunikan geologis menyimpan persoalan serius terkait nilai lahan dan relasi kuasa. Hasil riset peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Wageningen University, Belanda menunjukkan kecenderungan kawasan Geopark menjadi ajang perebutan lahan untuk kepentingan industri pariwisata.
 
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rucitarahma Ristiawan, bersama tim peneliti dari Wageningen University, Belanda melakukan penelitian soal cara kerja industri pariwisata. Khususnya, dalam membentuk nilai lahan melalui proses gentrifikasi pedesaan yang tidak jarang menyisakan ketimpangan.
 
“Geopark seolah menjadi kemasan ideal untuk proyek-proyek pembangunan, padahal di dalamnya terjadi perebutan nilai dan ruang,” ujar Rucitarahma dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 22 Mei 2025.

Penelitian berjudul ‘Apprehending Land Value Through Tourism in Indonesia’ itu dipublikasikan secara internasional melalui jurnal Quartil 1 (Q1) Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie pada 2024. Rucitarahma dan tim peneliti membedah bagaimana geopark menjadi ruang baru komodifikasi lanskap pedesaan.
 
Kajian ini tidak hanya melihat dari sisi tata ruang, tetapi juga mengupas praktik politik, ekonomi, dan budaya yang menyertainya. Hasil penelitian menunjukkan perubahan nilai lahan bukan semata-mata akibat mekanisme pasar, melainkan hasil dari dinamika kekuasaan yang dijalankan dalam kerangka tata kelola desentralisasi pascareformasi.
 
“Kami menelusuri bagaimana aktor-aktor lokal dan regional saling bernegosiasi untuk mendapatkan manfaat dari naiknya nilai lahan dan siapa saja yang justru tersingkir dari proses ini,” beber dia.
 
Penelitian mengambil studi kasus di dua geopark, Geopark Gunung Sewu di Yogyakarta dan Geopark Ciletuh Palabuhanratu di Sukabumi, Jawa Barat. Keduanya dipilih karena mencerminkan dua karakter pembangunan yang kontras.
 
Satu diprakarsai oleh pemerintah daerah secara top-down dan lainnya dimotori oleh inisiatif warga yang didukung BUMN melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Meski berbeda dari sisi pelaku, keduanya menunjukkan pola serupa, yakni lahan pertanian dan pesisir yang sebelumnya tidak dianggap produktif, kini berubah menjadi vila, homestay, dan resort wisata.
 
Infrastruktur jalan yang dibangun pemerintah daerah mempercepat akses dan sekaligus mempercepat lonjakan harga lahan. Bahkan, di Gunung Sewu, harga lahan melonjak dari Rp30 ribu menjadi Rp1 juta per meter persegi dalam waktu kurang dari dua dekade.
 
“Geopark membuka pintu investasi, tetapi juga membuka celah ketimpangan antara pemilik modal dan masyarakat kecil,” tutur Rucitarahma.
 
Namun, kenaikan nilai lahan ini tidak terjadi dalam ruang netral. Pemerintah daerah dan jejaring elite lokal memainkan peran penting dalam mengatur siapa yang bisa masuk dalam arena pembangunan wisata.
 
Penelitian mencatat bagaimana praktik-praktik klientelistik, seperti perizinan informal dan alokasi proyek ke kerabat, menjadi hal lumrah dalam dinamika pembangunan geopark. Di sisi lain, petani dan nelayan kecil yang tak memiliki modal sosial atau ekonomi justru mengalami tekanan secara perlahan untuk menjual lahannya atau terpaksa menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang tidak mereka pilih.
 
Baca juga: 10 Geopark Indonesia yang Diakui UNESCO, Batur hingga Raja Ampat

“Yang punya koneksi dengan pejabat bisa tawar-menawar harga tanah, bahkan menentukan lokasi pembangunan resort,” ujar Rucitarahma.
 
Rucitarahma menjelaskan studi ini membagi warga terdampak ke dalam tiga kategori, yaitu kelompok yang mampu menjadi negosiator karena memiliki tanah strategis dan jaringan politik, kelompok menengah yang membuka usaha kecil sambil tetap bertani, serta kelompok rentan yang tidak memiliki modal untuk ikut serta dan tidak cukup kuat untuk menolak.
 
Mereka yang berada di kelompok terakhir sering kali harus menghadapi peningkatan biaya operasional, akses lahan yang terganggu, bahkan risiko kecelakaan karena lalu lintas wisatawan.
 
“Kami menemukan bahwa banyak petani terpaksa mengganti rute ke ladang mereka karena jalan utama telah diambil alih oleh properti wisata. Bahkan ada yang mengalami kecelakaan lalu lintas saat membawa hasil panen karena jalanan dipenuhi kendaraan wisatawan,” tutur dia.
 
Khusus di Gunung Sewu, peran UGM menjadi sangat signifikan. Terutama melalui keikutsertaan dosen dan akademisi dari Fakultas Geografi dan Fakultas Ilmu Budaya dalam perencanaan awal geopark.
 
Forum Pengelolaan Karst Gunung Sewu yang turut menggagas geopark ini terdiri dari gabungan pemerintah daerah, akademisi, dan perwakilan masyarakat. Namun seiring perkembangan geopark, arah pembangunan bergeser dari konservasi ke orientasi ekonomi, membuat tantangan sosial-ekologis semakin kompleks.
 
Studi ini juga merekomendasikan agar universitas seperti UGM terus menjaga posisi kritis dan aktif dalam mengawal keadilan sosial dalam pembangunan geopark.
 
“UGM sempat hadir sebagai penyeimbang antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan, namun saat investasi mulai masuk besar-besaran, pendekatan teknokratik perlahan kalah oleh logika pasar,” ujar Rucitarahma.
 
Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya melihat geopark bukan hanya sebagai proyek wisata, tetapi juga sebagai arena perebutan makna dan kepemilikan atas tanah. Nilai lahan tidak hanya dibentuk oleh pasar, tetapi juga oleh narasi, kebijakan, dan relasi kekuasaan yang berlangsung di tingkat lokal maupun nasional.
 
Dalam konteks Indonesia, di mana budaya patrimonial dan relasi klientelistik masih kuat, pembangunan geopark bisa menjadi pedang bermata dua, membuka peluang sekaligus memperlebar ketimpangan.
 
“Kami ingin membuka ruang diskusi kritis bahwa tidak semua pembangunan membawa manfaat merata. Siapa yang diuntungkan, siapa yang terpinggirkan, itu harus jadi pertanyaan utama,” tutur dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan