Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” papar Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Siswanto Agus Wilopo dikutip dari laman ugm.ac.id, Selasa, 25 Oktober 2022.
Peneliti utama I-NAMHS itu memaparkan hasil penelitian juga menunjukkan gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas, gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh, sebesar 3,7 persen. Diikuti gangguan depresi mayor (1,0 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing 0,5 persen.
Siswanto menyebut hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan. Padahal, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10–19 tahun.
Sehingga, populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia. Terutama, untuk meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2024.
“Hanya 2,6 persen dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” papar Siswanto.
I-NAMHS juga mengumpulkan data mengenai pengaruh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi covid-19 terhadap kesehatan mental remaja. Sebanyak 1 dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi covid-19.
Temuan lain I-NAMHS menunjukkan 38.2 persen pengasuh remaja memilih mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka. Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima (43.8 persen) melaporkan mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
I-NAMHS merupakan bagian dari National Adolescent Mental Health Survey yang juga diselenggarakan di Kenya dan Vietnam. Penelitian ini dikerjakan melalui kerja sama antara Universitas Gadjah Mada, University of Queensland Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Siswanto menyebut ketersediaan data prevalensi berskala nasional seperti I-NAMHS sangat diperlukan. Selama ini, data yang dimiliki tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis. Sehingga, perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran.
"Harapannya, I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” papar dia.
Baca juga: Ini Perbedaan Mental Health dan Mental Illness, Kamu Sudah Tahu? |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News