Widjajanti menuturkan sosiologi feminis berkontribusi melihat perubahan dan kesinambungan. Dia menuturkan perempuan hadir dalam konteks lokal, nasional, dan global sebagai karakter subjek bertanggung jawab.
"Sosiologi feminis menunjukkan upaya meng-counter tiga representasi, yaitu pengetahuan perempuan, politik, dan ruang publik,” papar Widjajanti dikutip dari laman brin.go.id, Jumat, 11 Februari 2022.
Perempuan yang menerima tanda penghargaan Satyalancana Karya Satya dari Presiden RI ini mengatakan berbekal personal is political, representasi mengangkat realitas sederhana dan remeh. Seperti sinetron yang menjadi bukti marginalisasi berbasis gender.
“Media seperti televisi adalah medium feminitas yang membelenggu perempuan, kecuali pegiatnya memiliki pengetahuan gender dan menggelitiknya,” tutur dia.
Widjajanti mengatakan tayangan sinetron di televisi memperkeruh konstruksi perempuan. Meski, memiliki potensi bernegosiasi terhadap peran tradisional.
Dia menyebut sebagai ilustrasi negosisasi terhadap peran laki-laki dan perempuan bisa dilakukan seperti yang ditunjukkan drama Korea. Caranya, mensubversif atau mengubah peran tradisional dalam kemasan modern.
Widjajanti menyebut ada pencerahan terhadap dampak pandemi covid-19. Internet memberikan ruang ekspresi.
Salah satunya perubahan aktivitas gerakan perempuan dari protes, pawai, menjadi kegiatan di media sosial yang bervariasi. “Mobilitas beku untuk menghentikan penularan covid-19, membuat digital sebagai medium koordinasi, resistansi, maupun kegiatan, baik individual maupun kelompok,” tutur dia.
Peneliti yang menghasilkan publikasi sebanyak 62 karya tulis ilmiah ini menyatakan pendekatan gender tidak gagal. Representasi, diskriminasi, dan segregasi justru menghasilkan inovasi. Perkembangan digital menghasilkan pertanyaan dan mekanisme dalam ruang publik alternatif.
“Pengetahuan g/f di Indonesia tidak gagal, namun menghadapi backlash yang memilin dan memojokkan g/f,” kata perempuan yang memulai karier pada 1989 ini.
Skenario negatif dan positif
Perempuan yang aktif dalam pembinaan kader ilmiah itu menyayangkan Indonesia Emas tidak menyertakan isu gender, yang artinya PUG sebagai amanat undang-undang tidak diperhatikan. Hal ini semakin menunjukkan paradoks perempuan dalam organisasi, aturan negara, dan imaginasi pembangunan.Dia menilai kebijakan affirmative action tidak terbatas untuk isu parlemen perempuan, bahkan perlu diperluas. Hal-hal penting mengangkat konteks Indonesia dalam menakar patriarki, ialah critical mass, keterwakilan dalam organisasi, pendidikan model ghetto, maupun integrasi.
“Menakar patriarki menjadi penting dalam imaginasi Indonesia Emas dari sisi gender,” papar dia.
Belajar dari negara lain, sosiologi feminis memberi gambaran tentang lemahnya representasi perempuan di Indonesia. Sebab, pembangunan di Indonesia masih dilihat dari sisi ekonomi dan teknologi, pandangan positivistik-rational, dan potensi lainnya.
Sementara itu, skenario positifnya ialah gerakan perempuan akan terus berkembang, sesuai dengan ontologi. Selain itu, sejarah dan karakter individu, seperti passion dan enigma tetap menggarap kerja-kerja pendampingan untuk menangani kasus dan mengiringi kebijakan pro gender.
Dia menuturkan produksi teks keilmuan perlu dukungan penerbitan dan diseminasi sebagai bahan negosiasi konstruksi feminitas melalui gaya subversif terhadap pekatnya konstruksi heterogender. Teks ialah upaya rekonstruksi peran perempuan yang penting.
Selain itu, teks merupakan pengembangan kreativitas dan kecenderungan prosumer dari budaya digital. Hal itu membuat imaginasi Indonesia Emas 2045 dengan memasukkan elemen gender akan menyemarakkan dan memberikan gambaran yang lebih rinci tentang masa depan Indonesia.
Baca: Periset Perempuan Indonesia: dari Teknologi Bio Toilet Hingga Produk Anti Selulit
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News