Ilustrasi judi online. DOK Freepik
Ilustrasi judi online. DOK Freepik

Sosiolog UGM: Negara Gagal Berantas Judol

Renatha Swasty • 23 April 2025 13:10
Jakarta: Keseriusan negara memberantas judi online dipertanyakan menyusul maraknya kasus dan korban yang bertambah banyak dari masyarakat kelas bawah. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Andreas Budi Widyanta, menilai negara gagal memberantas judi online (judol).
 
Widyanta menyayangkan pemerintah tidak menunjukkan komitmen pada penanganan dan pemberantasan judi online secara nyata. Dia menyebut, belum ada instrumen hukum dan lembaga kuat untuk menangani judi online.
 
Bahkan, secara kapasitas, kompetensi, dan pengetahuan, pemerintah belum mampu menghadapi tantangan perkembangan teknologi digital.

“Saya bisa katakan, negara tidak hadir dalam hal melindungi hak-hak kewarganegaraan. Terlebih soal perlindungan data pribadi, upaya pemerintah sangat kurang. Kita jadi negara yang tidak siap,” tegas Widyanta dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu, 23 April 2025.
 
Namun, dia menyebut masih ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan. Pertama, pentingnya meningkatkan kesadaran mengenai teknologi digital (digital awareness).
 
Masyarakat mesti memiliki pemahaman terhadap sistem digital sehingga dapat terhindar dari berbagai sisi negatif, termasuk judi online. Ancaman terbesar judi online adalah membuat korban bertaruh dengan senang hati, bahkan tanpa menyadari dirinya telah terjebak di dalam sistem.
 
Kedua, pemerintah perlu menegaskan regulasi terhadap ruang digital, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi. Poin ini merujuk pada kewenangan negara mengatur korporasi digital beroperasi di Indonesia dengan melibatkan data pribadi.
 
Ketiga, upaya penegakkan hukum yang perlu diperbaiki. Tidak hanya masalah judi online, hukum yang lemah akan menghambat berbagai upaya membasmi korupsi, nepotisme, dan masalah lainnya.
 
“Lagi-lagi seringkali kita melihat hukum selalu runcing ke bawah. Banyak kasus menunjukkan pelemahan terhadap instrumen dan lembaga hukum,” ujar Widyanta.
 
Baca juga: Menkomdigi: Instruksi Presiden Fokus Perangi Judi Online, Gak Cuma Diblokir!
 

Judol berkembang pesat di tengah lesunya ekonomi

Widyanta menuturkan judi online berkembang pesat di tengah lesunya ekonomi Tanah Air lantaran dibual dengan sistem gamifikasi. Sehingga, memunculkan rasa senang dan kenikmatan.
 
"Sehingga orang akan terus bermain,” tutur Widyanta.
 
Menurutnya, banyak orang belum menyadari kalah atau menang dalam judi online bukan soal peruntungan. Namun, merupakan bagian dari sistem yang mengatur dan memunculkan rasa kecanduan.
 
Pada akhirnya, sistem tersebut sudah didesain untuk memberikan untung bagi korporasi. Kemudahan akses dan simplifikasi pada sistem judi online juga menjadi faktor terbesar seseorang terjerat di dalamnya.
 
Widyanta meneybut ekosistem digital sangat mendukung aksesibilitas judi online, seperti tautan mobile banking atau layanan top-up dan pinjaman online. Sistem digital memungkinkan layanan-layanan tersebut saling terhubung sehingga korban dapat menyalurkan uang hanya dengan beberapa kali sentuhan di layar gawai.
 
“Lingkaran setan itu saling terhubung, korban jadi sulit punya kontrol atas hawa nafsu dan kecanduan mereka,” tutur Widyanta.
 
Indonesia dengan jumlah populasi mencapai 284 juta jiwa tentu merupakan pasar empuk bagi korporasi judi online. Apalagi berdasarkan data, jumlah pengguna internet terus naik setiap tahunnya.
 
Dia menduga fenomena judi online juga dimanfaatkan dalam technopolitics sebagai alat intervensi atau eksploitasi politik. “Polemik judi online bukan masalah yang mengakar kuat pada satu sektor tertentu, melainkan sudah menjaring di berbagai sektor, saling terhubung, dan sulit ditangani,” ujar dia.
 
Menanggapi isu keterlibatan politikus Indonesia dalam jaringan judi online, Widyanta mengakui bukan rahasia lagi siapa pun bisa terlibat dalam sistem judi online. Dia menyebut judi online menyasar tanpa pandang bulu, tidak terpaku pada status ekonomi, jabatan, kewarganegaraan, siapa pun bisa terjerat dalam sistem sebagai korban maupun pelaku.
 
“Tidak aneh juga jika pejabat publik terlibat atau ada afiliasi partai politik tertentu. Ini menunjukkan negara tidak tunggal, pejabat sendiri bisa ambil bagian,” ujar Widyanta.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan