"Alhamdulillah, tentu saya senang dengan penghargaan ini. Capaian ini sekaligus bukti bahwa tidak hanya mahasiswa dan tendik UMM saja yang berprestasi, tapi juga dosennya yang harus ikut berprestasi. Kan guru itu digugu lan ditiru, semoga menjadi inspirasi bagi seluruh sivitas akademika yang ada,” ujar Fatih kepada Medcom.id, Jumat, 17 Mei 2024.
Ide Fatih terkait pemilihan langsung Hakim MK oleh rakyat karena melihat model pemilihan Hakim MK sekarang kurang akuntabel dan transparan. Dia menyebut model sembilan hakim yang dianut Indonesia meniru kroean representatives.
Masing-masing lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memilih tiga hakim. Hal itu juga membuka kemungkinan adanya peluang conflict of interest.
“Kan kemarin ada mantan legislator yang jadi Hakim MK. Ada pula Hakim MK yang tersandung kasus, mulai etik hingga pidana. Nah kita mau coba gagas pemilu secara langsung. Memang minusnya adalah berbiaya tinggi, tapi bisa menjadi legitimasi rakyat bahwa memang Hakim MK yang terpilih itu bernar-benar dipilih dan didukung oleh rakyat,” tutur dia.
Fatih menjelaskan pemilu langsung Hakim MK modelnya seperti pemilihan umum dengan melibatkan rakyat sebagai pemilik suara. Hal itu sesuai dengan slogan demokrasi, ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’.
Dia berharap ide tersebut bisa menjadi topik diskusi dan kembali diteliti oleh akademisi lain. Sehingga bisa menjadi masukan untuk perbaikan kelembagaan MK ke depan.
Dosen Fakultas Hukum itu menjelaskan cara ini memang tidak menjamin akan mendapatkan sumber daya manusia terbaik. Namun, hal ini membuat pemilihan Hakim MK lebih transparan dan akuntabel sehingga masyarakat bisa tahu dan tidak berprasangka buruk.
“Sebenarnya, pemilihan langsung Hakim MK ini sudah dipakai di beberapa negara bagian di Amerika dan tidak dipilih dari lembaga lain. Jadi, lebih transparan dan tidak menimbulkan banyak prasangka,” kata dia.
Fatih mengakui selain berbiaya mahal, model ini juga memungkinkan munculnya sengketa. Apalagi, pemilu identik dengan sengketa. Meski begitu, sudah ada lembaga yang memiliki tugas memeriksa dan memantau kinerja hakim, yakni Komisi Yudisial (KY).
Di samping itu, ide ini juga dirasa belum bisa dijalankan karena tidak ada undang-undang yang mengatur. Baik melalui peraturan pemerintah, preaturan presiden, atau bahkan peraturan MK.
“Memang belum ada atruan yang mengakomodir model ini. Tapi Undang-Undang MK bisa diamandemen dan diatur lebih lanjut. Sebenarnya ada potensi dalam pasal bahwa ‘pemilihan MK diatur secara demokratis, akuntabel dan transparan’. Sayangnya, pemahaman kita selama ini hakim MK hanya dipilih oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Padahal, frasa itu juga bisa dipahami dengan menggunakan model pemilihan umum," papar dia.
Baca juga: Operasi Senyap Revisi UU MK |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News