Dokter gigi penerima beasiswa LPDP Mochamad Nur Ramadhani. DOK LPDP
Dokter gigi penerima beasiswa LPDP Mochamad Nur Ramadhani. DOK LPDP

Kisah Dhani, Kejar Mimpi Jadi Dokter Gigi dengan Satu Kaki hingga Raih LPDP di Jerman

Renatha Swasty • 20 Oktober 2023 13:49
Jakarta: Keterbatasan fisik tak membuat Mochamad Nur Ramadhani berhenti meraih mimpi menjadi dokter gigi. Dhani kehilangan kaki kanannya sejak remaja sehingga mesti berjalan menggunakan satu kaki palsu atau prostesis setiap hari.
 
Keadaan itu tak membuat dia berhenti, justru terus melaju menjalani kehidupan dan kariernya. Bapak satu anak ini merupakan lulusan S1 Fakultas Kedokteran Gigi dan meraih gelar Master dari Humboldt Universitaet Zu Berlin.

Kanker tulang

Masa kecil Dhani dihabiskan di Jerman mengikuti ayahnya yang sedang bertugas. Dhani gemar bermain sepak bola selama di sana. Hari-hari pria kelahiran Bandung saat luang banyak diisi dengan memainkan si kulit bundar.
 
Tiba saat kelas tujuh, Dhani pulang ke Indonesia seiring dengan selesainya tugas sang ayah di Negeri Panzer. Namun, sesuatu yang tidak diduga dan tak diinginkan terjadi dalam diri Dhani.

Dhani divonis menderita kanker tulang setelah setahun tinggal di Indonesia. Sel ganas ini muncul di atas lutut kanannya dan menyebar cepat ke kakinya.
 
Dhani tak mengetahui pasti penyebab dan kenapa bisa berada di tubuhnya. Dia hanya bisa menduga karena seringnya aktivitas fisik dan benturan, iklim yang berbeda, atau mutasi gen disinyalir menjadi pemicu serangan kanker tulang di kakinya.
 
Satu-satunya jalan agar kanker tak terus menjalar ke bagian tubuh yang lain adalah dengan mengamputasi kaki. Tentu, ini bukan kabar baik. Butuh waktu sekitar enam bulan untuk Dhani mencerna semua kondisi yang terjadi termasuk memutuskan amputasi.
 
Pihak keluarga sangat berat untuk mengambil keputusan. Tak ada pilihan lain untuk mengakhiri ganasnya kanker tulang yang telah menggerogoti kaki kanannya selain amputasi.
 
“Karena kalau misalkan diamputasi, mungkin aktivitas akan terbatas. Tapi, saya yakin menyelamatkan satu nyawa ya, ini (kaki) nanti akan bisa digantikan dibandingkan kita harus mempertahankan satu kaki dan belum tentu terselamatkan juga sehingga memutuskan untuk diamputasi,” tutur Dhani dikutip dari laman lpdp.kemenkeu.go.id, Jumat, 20 Oktober 2023.
 
Pada 2008, Dhani harus berpisah dengan kaki kanannya. Mulai paha bagian atas hingga ujung kaki harus dikorbankan untuk menghentikan ganasnya sel jahat itu. Kemoterapi dilakukan setelahnya untuk memastikan sel kanker benar-benar hilang dari tubuh Dhani.

Hidup baru

Kondisi tubuh Dhani pascaamputasi masih sangat lemah karena efek serangan kanker sebelumnya. Fisiknya ringkih, untuk berdiri saja tidak bisa dan kemana-mana harus menggunakan kursi roda.
 
Orang tuanya setia menemani masa-masa pertama Dhani yang sulit itu. Berangsur saat tubuh mulai bugar dan berisi kembali, Dhani mulai belajar berjalan menggunakan tongkat kaki.
 
Tak mudah bagi Dhani yang kala itu masih remaja harus beradaptasi untuk memulai hidup baru. Menjadi seorang dengan disabilitas daksa adalah ujian besarnya baik dari fisik dan psikis.
 
"Umur (baru) 14 tahun, minder pasti ada. Secara pribadi awalnya masih belum siap, tapi hidup harus terus berjalan dan ini adalah ujian yang akan membuat saya lebih kuat," kata anak pertama dari empat bersaudara ini.
 
Saat proses amputasi dan penyembuhan di 2008, Dhani harus melewatkan Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia kemudian memutuskan mengulang kelas 9 SMP agar bisa mengikuti ujian dengan baik.
 
Hari-hari dengan hidup barunya terus berjalan dengan luar biasa. Prestasi akademiknya muncul saat nilainya di Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi yang tertinggi dan berhak mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan.
 
Sayangnya, saat mengambil jurusan kedokteran umum di jalur undangan tersebut, ia belum berhasil. Banyak kampus mensyaratkan mahasiswanya tidak boleh tuna daksa.
 
Sampai akhirnya, ia berjodoh dengan Universitas Padjajaran yang tak mempermasalahkan tuna daksa untuk mengenyam pendidikan dokter gigi. Namun, sebelum perkuliahan dimulai, Dhani sempat dipanggil oleh dekan.
 
Dia diberi tahu menyelesaikan studi kedokteran dengan status tuna daksa bukan hal mudah. Kakak tingkatnya yang tuna daksa menggunakan kursi roda ada yang menyerah dan tak bisa menyelesaikan studi.
 
Hal itu justru menambah lecutan pada diri Dhani agar kampus tak perlu mengkhawatirkan kemampuannya untuk merampungkan pendidikan dokter gigi.
 
Dhani yang berjalan dengan tongkat ini berhasil menyelesaikan studi dan mendapat gelar spesialis dokter gigi pada 2018. Ia kemudian bekerja di klinik dokter gigi dan Puskesmas di Gorontalo, Sulawesi Utara. Saat itu, Dhani juga mulai menggunakan kaki palsu atau prostesis untuk lebih mempermudah aktivitasnya.

Kembali ke Jerman dengan LPDP

Jerman menjadi salah satu hal paling membekas di hidup Dhani kecil yang pernah tinggal selama tujuh tahun. Dia ingin kembali ke Jerman dan keinginan terbuka saat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan memfasilitasi penyandang disabilitas. Dhani menyasar Humboldt Universitaet di Berlin, Jerman dan mengambil International Health.
 
"Awalnya, kampus saya tidak ada dalam list LPDP Jerman, tetapi karena saya (jalur) afirmasi dan di afirmasi ada nama Humboldt Universitaet dan saya melamar di situ", ungkap Dhani.
 
Lewat jalur afirmasi beasiswa LPDP jalan Dhani terbuka meraih impiannya kembali ke Jerman. "Proses sangat dimudahkan oleh LPDP dari segi aksesibilitas fisik," beber dia.
 
Dhani mendapat beasiswa LPDP dan mulai berkuliah di Jerman pada 2020 dan berhasil meraih gelar Master of Science in International Health dua tahun setelahnya. Pulang ke Indonesia, jalan karier Dhani ternyata mengikuti ayahnya, yaitu sebagai abdi negara.
 
Dhani hingga saat ini tercatat bekerja di Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
 
“Pesan saya untuk teman-teman penyandang disabilitas yang ada di seluruh Indonesia, baik yang sudah dewasa maupun yang saat ini masih usia anak-anak, saya berpesan bahwa di dunia ini banyak sekali kesempatan kita untuk berprestasi, melakukan ibadah, beramal berkreasi, berprestasi membanggakan orang tua membanggakan keluarga membanggakan negara,” tutur penerima beasiswa LPDP angkatan PK-147 ini.
 
Baca juga: Kisah Penerima Beasiswa LPDP Angkatan Pertama, Arip Muttaqien Switch Karier hingga Kerja di Sekretariat ASEAN

Kuliah di kampus favorit dengan beasiswa full kini bukan lagi mimpi, karena ada 426 Beasiswa Full dari 21 Kampus yang tersebar di berbagai kota Indonesia. Info lebih lanjut klik, osc.medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan