Dosen Hukum UNAIR Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H, CN., Foto: Dok. Unair
Dosen Hukum UNAIR Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H, CN., Foto: Dok. Unair

Pendapat Pakar Hukum Unair Soal Polemik Permendikbudristek PPKS

Citra Larasati • 12 November 2021 07:27
Jakarta:  Polemik yang muncul dari terbitnya Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) mengundang perhatian dari berbagai pemangku kepentingan di dunia pendidikan.  Tidak terkecuali akademisi sekaligus pakar hukum dari Universitas Airlangga (Unair) yang mencoba menganalisanya dari sudut pandang keilmuannya.
 
Baru-baru ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Pengesahan aturan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu dilatarbelakangi maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh warga kampus.
 
Hal tersebut dapat berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan tridarma perguruan tinggi.
Meski begitu, aturan tersebut menuai pro dan kontra dari beberapa pihak.

Ada dua hal yang menuai polemik, yakni anggapan bahwa Kemendikbudristek tidak berwenang membuat aturan, karena tidak adanya aturan yang lebih tinggi mengenai PPKS.  Selain itu, Permendikbudristek ini kontroversial karena dianggap melegalkan zina.
 
Baca juga:  ITB Susun Peraturan Rektor Tindak Lanjuti Permendikbudristek PPKS
 
Menanggapi polemik pertama, Dosen Hukum Unair Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H, CN., menjelaskan, bahwa di dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tertulis, bahwa suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal.  Yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya.
 
“Jadi, meskipun UU PKS sendiri masih digodok oleh DPR, namun secara aspek formal Kemendikbudristek sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi tetap berwenang membuat peraturan PPKS,” sebut dosen Fakultas Hukum UNAIR itu.
 
Secara substansi, Hadi menilai, Permendikbudristek PPKS ini sangat baik sebagai preventif dan settlement kepada korban yang mengalami kekerasan seksual.
 
Selain itu, terkait dengan tuduhan melegalkan zina, pihaknya menilai ada kesalahan dalam menafsirkan kata ‘tanpa persetujuan korban’.  Menurutnya, persetujuan di dalam kaca mata hukum memiliki makna ‘tanpa hak’.
 
Dengan begitu, Hadi menuturkan tidak ada korelasi antara PPKS dengan anggapan free sex atau zina.  “Tidak bisa diartikan kalau korbannya mau ‘disentuh’ berarti boleh dan itu zina. Konsepnya adalah meskipun saling setuju tetapi tidak memiliki hak secara norma hukum agama, etika, dan hukum ya tetap saja tidak boleh melakukan,” tekannya.  

Hukuman bagi Pelaku

Terkait dengan sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan seksual, dosen yang juga menjabat sebagai Dirmawa Unair itu mengatakan pihak kampus hanya bisa memberikan hukuman secara administratif.
 
“Kalau misalkan mau menghukum pelaku secara pidana itu menjadi kewenangan korban untuk melapor pada pihak terkait, karena hukum pidana sudah menjadi urusan negara. Dalam hal ini, kampus hanya bisa melakukan hukuman berupa DO (Drop out)atau hukuman administratif lainnya,” pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan