Chattra mengandung banyak makna filosofis yang sangat mendalam melebihi aspek kesejarahan dan arkeologis. Dosen Antropologi Universitas Diponegoro (Undip), Stanley Khu, berpandangan sekarang sudah tiba waktunya memahami Borobudur tidak hanya sebagai candi dalam konteks historis atau arkeologis.
"Akan lebih bermanfaat untuk juga memahami Borobudur sebagai kuil kebudayaan tempat ornamen-ornamen dan simbol-simbol Buddhis yang diakui secara universal oleh masyarakat Buddhis di berbagai belahan dunia," kata Stenley dikutip dari laman kemenag.go.id, Jumat, 23 Februari 2023.
Misalnya, kata dia, chattra dapat bersinergi dengan keseluruhan bangunan monumen tanpa adanya keberatan terkait isu orisinalitas ataupun keilmiahan dari pemasangan chattra di stupa candi. Stanley menilai chattra berpotensi secara simbolik mewakili imajinasi kolektif umat Buddhis tentang ruang sakral mereka.
"Patut diingat bahwa dalam tradisi keagamaan mana pun, ruang sakral berikut ornamen-ornamen pelengkapnya sebagai aspirasi umat serta bangkitnya kesadaran dan kepedulian pemuda-pemudi Buddhis di Indonesia terhadap isu chattra dan kemungkinan pemasangannya di stupa Borobudur dapat dibaca sebagai kebutuhan mendasar umat beragama untuk membayangkan sebuah cara hidup ideal yang bajik dan bermakna, baik bagi diri mereka maupun pihak lain," papar dia.
Sementara itu, pemerhati Buddhis Nusantara, Prawirawara Jayawardhana, mengatakan chattra memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat jelas serta mendalam di dalam Buddhisme. Keutamaan itu terbukti baik menurut tradisi teks Pali maupun Sanskrit, maupun Sutrayana dan Tantrayana.
“Konsep payung sebagai pelindung bagi makhluk-makhluk suci, bisa ditemukan antara lain mulai dari Mucalindasuttam, hingga Lalitawistara Sutra, Gandawyuha Sutra, Karmawibhangga Sutra, Jatakamala hingga berbagai kisah di dalam Awadana. Dan kebetulan sekali pula, Candi Borobudur menyimpan catatan atas sutra-sutra tersebut dalam bentuk ukiran-ukiran relief di dindingnya,” ujar Prawirawara.
Dia menyoroti selama ini polemik pemasangan chattra hanya dibahas dari satu sisi keilmuan arkeologi. Menurut dia, sudah saatnya jawaban atas polemik ini juga dicari dari sisi filosofis Buddhisme karena pada dasarnya Candi Borobudur dibangun berdasarkan filosofi Buddhisme.
“Oleh karena itu, pemasangan chattra pada stupa utama Candi Borobudur adalah sesuatu yang sangat bisa dipertanggungjawabkan dari sisi Buddhisme," kata dia.
Setelah dipasang, juga ada satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu upacara meng-abhiseka ulang Candi Borobudur secara paripurna dengan chattra yang baru dipasang tersebut. Dia mengatakan ini harus dilakukan berdasarkan prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan dan bisa ditelusuri keabsahan silsilahnya hingga ke Sang Buddha dan memiliki akar budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, pemerhati Candi Borobudur, Hendrick Tanuwijaya, menyampaikan chattra adalah simbol dari 'cakrawatin' atau pemimpin yang bisa menyejahterakan rakyatnya secara duniawi dan spiritual. Menurut dia, kalau chattra terpasang, akan menjadi spirit kuat dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045.
"Kita akan menjadi anak muda emas dalam istilah Buddhis kita sebut Cakrawatin Emas menuju kejayaan," ujar dia.
Hendrick mengatakan dengan menaikkan chattra di Candi Borobudur, sejatinya menjadi simbol tekad umat untuk mencapai cita-cita Indonesia emas. Sebab, perlu simbol barang nyata.
Dia menyebut pemasangan chattra melambangkan Borobudur kembali bukan monumen mati. Namun, monumen hidup yang bisa digunakan dan juga sebagai pusat peradaban.
Baca juga: Mengenal Sandal Upanat dan Kegunaannya saat di Candi Borobudur |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id