Salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mempertahankan yang sudah melek aksara agar tidak kembali buta aksara. Hal ini penting, kata dia, karena kemapuan literasi ini berimplikasi pada masyarakat untuk bisa mengakses informasi dan pembelajaran.
Selain itu juga mengakses potensi-potensi ekonomi yang ada di sekitarnya. “Itu merupakan hak warga negara untuk mendapatkan haknya, termasuk membuat tanda tangan dalam dokumen-dokumen kependudukan, perbankan dan juga memenuhi haknya di Pemilu misalnya,” kata Jumeri dalam pembukaan Seri Perdana Serambi Literasi, Jumat, 24 Juli 2020.
Selain itu juga, tantangan membuat melek aksara bagi masyarakat yang masih buta huruf itu sendiri. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Samto menyampaikan, saat ini ada sekitar tiga juta masyarakat buta aksara usia 15-59 tahun.
“Tetap memerlukan perjuangan untuk tiga juta ini, karena rata-rata tinggal di daerah sulit. Sehinga perlu upaya strategi agar masyrakat Indonesia terlayani dan mendapatkan informasi dengan kemampuan baca tulis,” ujarnya.
Untuk itu diperlukan peran pegiat literasi guna membudayakan literasi kepada masyarakat. Jumeri menyampaikan, meski di situasi pandemi ini kegiatan tersebut mesti terus didorong.
Ia pun mengatakan, dari gerakan literasi ini tindak lanjutnya masuk ke dalam sekolah paket A, B atau C. “Jadi bisa juga sudah berumur 20 tahun mengikuti paket A, kemarin ada pembahasan revisi UU Sisdiknas ruang yang diberikan untuk penduduk yang sudah lanjut ingin menempuh pendidikan formal dalam bentuk paket,” tutur Jumeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News