Hal itu juga berkaitan dengan capaian akademik yang gemilang, konsistensi pembelajaran, dan keteladanannya. Gelar tersebut merupakan apresiasi tertinggi dan pengakuan terhadap darmabakti Djoko selama 45 tahun.
Ilmu pengetahuan mengenai amfibi dan reptil di Indonesia telah terhenti sejak awal abad ke-19. Prof. Djoko melihatnya sebagai kesempatan emas untuk diteliti lebih dalam. Ia berhasil menemukan dan merumuskan jenis herpetofauna baru.
Herpetofauna merupakan jenis hewan melata berupa jenis amfibi dan reptil. “Jumlah spesies yang teridentifikasi saat ini tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan ketika saya mulai bekerja. Keberagaman dan keberadaan amfibi di suatu wilayah menjadi penting karena sensitivitas mereka tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan sangat baik digunakan sebagai bioindikator,” ujarnya dilansir dari laman ITB, Kamis, 14 Desember 2023.
Beberapa penemuan Djoko memberikan kesadaran tentang kekayaan hayati Indonesia yang melimpah. Djoko mengidentifikasi temuan katak baru dari Kalimantan di tahun 1978.
Penemuan itu cukup spektakuler karena memiliki kesamaan ciri dengan katak Eropa-Asia, padahal lazimnya katak di Indonesia bertipe Asia Tenggara. Pada tahun 2000, Djoko menemukan Oreophyrne minuta di hulu Sungai Derewo, Papua Barat, yang dinobatkan sebagai spesies katak terkecil di dunia.
Ukuran tubuhnya hanya sebesar biji kacang tanah, sekitar 9,5 mm. Selain itu, ia menemukan satu-satunya katak di dunia yang tidak memiliki paru-paru di tahun 2008 dan satu-satunya katak di dunia yang melahirkan kecebong dari Sulawesi pada tahun 2014.
Secara keseluruhan, Djoko sukses menemukan dan mendeskripsikan dua genus amfibi, 27 spesies amfibi, dan 17 spesies reptil baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Djoko mencurahkan hasil penelitiannya dalam 110 jurnal internasional dan 50 karya ilmiah nasional yang memiliki reputasi.
Sebanyak 15 buku di bidang biologi, konservasi, maupun herpetofauna berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Memasuki masa purnabakti, tidak menyurutkan Djoko untuk mendedikasikan tenaga dan pikirannya.
Hal ini ditunjukkan dengan publikasi 22 jurnal internasional yang dirampungkan setelah ia pensiun. Makalahnya menjadi rujukan ilmuwan lainnya dengan indeks sitasi yang tinggi, meskipun pada umumnya penelitian yang dilakoni tidak dibiayai oleh negara.
“Suatu kehormatan bagi saya untuk menerima penghargaan ini. Selama saya meniti karier, sulit sekali mendapat suntikan dana karena keilmuan yang digeluti masih dianggap sebelah mata. Tapi, tekad saya untuk melakukan penelitian sudah bulat. Saya harus terus menulis, melakukan publikasi sebaik-baiknya, dan mencantumkan data selengkap mungkin,” ujar Djoko.
Ketekunan itu membuatnya dilirik oleh International Union for Conservation Nature (IUCN). Peneliti dari luar negeri mulai menghubunginya dan mengajak untuk kolaborasi. “Kerja sama dengan pihak internasional adalah gerbong yang akan membawa kita ke ranah internasional. Kita harus outsourcing karena ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat,” tuturnya.
Djoko yang telah mendalami keberagaman hayati vertebrata Indonesia dalam kurun waktu 45 tahun, menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung, dan menamatkan jenjang S2 sampai S3 di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Prancis.
Ke depannya, Djokomenargetkan pembukuan informasi mendasar mengenai vertebrata Indonesia, khususnya Wallacea. Selain itu, Djoko ingin menyelesaikan penulisan autobiografi, melakukan publikasi herpetofauna Sundaland dan Wallacea, dan menggarap buku tentang evolusi bagi masyarakat luas.
Baca juga: ITB Kampus Terbaik di Indonesia Versi QS WUR: Sustainability 2024 |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News