Gus Yahya menyebut masalah itu mengenai paradigma perguruan tinggi di lingkungan NU. Menurutnya, ada jarak antara tradisi pendidikan dengan tuntutan yang muncul dari perkembangan zaman terkait dengan pendidikan tinggi.
Dia menyebut titik temunya sampai sekarang belum bisa diidentifikasi, apalagi dirumuskan dengan baik. Sebab, secara tradisional, paradigma pendidikan di lingkungan NU dan pesantren dasarnya, yaitu keramat.
“Jadi, pendidikan pesantren nomor satu yang penting keramat dulu, yang lain-lain nanti menyusul. Soal pengetahuan kognitif dan lain-lain itu nanti. Nanti akan mendapatkan landasan untuk berkembang, kalau keramatnya dapat,” ujar Gus Yahya dikutip dari laman nu.or.id, Jumat, 1 Desember 2023.
Namun, kata dia, di tengah perubahan zaman ada kebutuhan untuk mengembangkan macam-macam kapasitas dan pengetahuan kognitif yang begitu luas dan harus dikejar. Sehingga, kalangan NU juga berpikir cara mengejar tuntutan penguasaan pengetahuan-pengetahuan kognitif secara lebih cepat dan progresif.
“Cuma lalu kalau itu dikejar, ini keramatnya ikut apa tidak? Ini sampai sekarang belum ketemu. Karena mengembangkan sistem atau model pendidikan yang canggih seperti perguruan tinggi itu jelas-jelas berbiaya tinggi, sedangkan keramat itu dasarnya orang harus tirakat, harus kuat. Ini yang repot,” ujar Gus Yahya.
Dia juga tidak tahu apakah lembaga pendidikan di lingkungan NU yang sudah menjadi canggih, apakah keramatnya ikut atau tidak.
“Ada yang karena tidak mau melepaskan keramatnya itu sampai zuhud sedemikian rupa, sehingga 10-15 tahun mahasiswanya cuma 70 orang. Itu dibetah-betahkan saja. Itu ada. Mungkin karena ingin mempertahankan keramatnya itu,” singgung Gus Yahya.
Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu menyebut untuk itu perlu dipikirkan lembaga pendidikan di lingkungan NU dipisah. Ada lembaga pendidikan keramat dan ada lembaga pendidikan canggih.
“Karena kita kemudian juga berhadapan dengan tantangan perubahan-perubahan, yang juga menuntut perubahan-perubahan di dalam sistem pendidikan kita secara keseluruhan. Banyak hal yang dulunya menjadi praktik yang mapan, sekarang sudah tidak bisa, sudah tidak jalan lagi,” ucap dia.
Gus Yahya menuturkan filsuf Amerika, Thomas Khun dari Universitas Chicago pernah menulis dan menerbitkan buku Tahun 1962 berjudul The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu, Thomas menggambarkan sistem sains dan ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat satu struktur.
Bagian paling hilir dari struktur itu adalah teknologi. Sedangkan, teknologi dibangun atas dasar teori-teori, yang pada satu titik karena perubahan hajat hidup manusia, banyak teknologi yang lalu sudah tidak bisa dipakai lagi.
“Nanti pada satu tingkat yang lebih mendasar, kemudian teori itu sendiri tidak bisa jalan. Sekarang teori fisika Newton itu saja sudah mulai mentok-mentok, sehingga orang mencari landasan teori-teori baru,” ujar Gus Yahya.
Tak hanya teori, paradigma pun bisa tidak jalan. Sehingga, orang harus membangun paradigma baru.
“Ini semua saya kira harus menjadi landasan pemikiran kita para pemikir-pemikir pendidikan ini, tentang bagaimana kita membangun pendidikan di masa depan,” jelas Gus Yahya.
Baca juga: Ratusan Kampus NU Perkuat Transformasi Digital di Pendidikan Tinggi |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News