Diskusi Publik Urgensi Pendidikan Lanjutan Kebijakan Publik di Indonesia. Foto: Medcom
Diskusi Publik Urgensi Pendidikan Lanjutan Kebijakan Publik di Indonesia. Foto: Medcom

Akademisi Sebut Ada Kesenjangan Kebijakan Publik di Indonesia, Ini Indikatornya

Citra Larasati • 29 Oktober 2025 17:06
Jakarta: Direktur Eksekutif Institute of Public Policy (IPP) Universitas Katolik (Unika) Indonesia Atma Jaya, Dr. Salvatore Simarmata mengungkapkan adanya gap atau kesenjangan dalam pengambilan kebijakan publik di Indonesia. Menurutnya, kajian kebijakan sebenarnya sudah banyak tersedia, namun persoalan serius terjadi pada tahap adopsi hasil riset menjadi dasar pembuatan kebijakan.
 
"Nah dari kajian yang kita lakukan dan juga tadi dari pendapat narasumber sebenarnya kita bisa menyimpulkan ada gap. Artinya sebenarnya kajian kebijakan di berbagai isu yang menjadi concern di bidang kebijakan publik itu ada," kata Salvatore di sela-sela acara diskusi publik, Rabu, 29 Oktober 2025.
 
Salvatore mengatakan, persoalan yang menjadi serius adalah bagaimana hasil-hasil riset dari universitas dan lembaga riset eksternal dapat diadopsi sebagai dasar dan bukti yang digunakan pembuat kebijakan. Hal ini penting agar kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sasaran dan berbasis bukti.

“Tapi mungkin persoalan yang menjadi serius adalah bagaimana mengadopsi hasil-hasil riset, hasil-hasil kebijakan itu dari universitas, lembaga riset eksternal, itu diadopsi benar-benar menjadi dasar, menjadi bukti yang digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk menghasilkan kebijakan yang lebih tepat sasaran,” katanya
 
Salvatore menekankan berbasis bukti dalam konteks kebijakan publik mencakup dua hal penting. Pertama, bukti sebagai dasar untuk mengidentifikasi masalah strategis yang berdampak luas.
 
Kedua, bukti menjadi dasar untuk menentukan solusi yang paling tepat. “Berbasis bukti di sini kita tekankan karena menyangkut dua hal. Satu adalah bukti sebagai dasar untuk mengidentifikasi apa yang menjadi masalah strategik. Masalah yang berdampak luas. Yang kedua adalah bukti yang menjadi dasar untuk menentukan mana solusi yang paling tepat,” jelas dia
 
Menurutnya, solusi kebijakan tidak boleh hanya berdasarkan kepentingan jangka pendek tertentu, tetapi harus lebih sustainable dan menjangkau kelompok masyarakat lemah dan marginal serta wilayah-wilayah daerah yang berada di lokasi 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal).
 
“Bukan hanya solusi yang karena adanya unsur kepentingan jangka pendek tertentu, tetapi yang lebih sustainable dan menjangkau terlebih dua hal. Satu adalah kelompok komunitas masyarakat yang dikategorikan sebagai lemah dan marginal atau terpinggirkan dan juga wilayah-wilayah daerah yang berada di lokasi 3T,” kata Salvatore.
 
Salvatore menegaskan pembangunan berbasis bukti seharusnya mengusung pembangunan yang lebih merata. Mengingat APBN adalah milik bersama, pembangunan harus dimulai dari pinggiran, yaitu daerah-daerah terluar Indonesia. "Jadi misalnya konteks pembangunan yang berbasis bukti itu harusnya mengusung pembangunan yang lebih sifatnya merata. Karena kalau kita bayangkan misalnya APBN sebagai milik bersama, harusnya pembangunan itu harus kita mulai usung, dikembangkan mulai dari pinggiran, artinya daerah-daerah terluar dari Indonesia," tutup dia. (Bramcov Stivens Situmeang)
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan