Hal itu juga berlaku bagi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang didorong agar mampu bersaing di skala internasional. Menurut anggota Panel Ahli ITB Prof. Dr. Ida I Dewa Gede Raka, banyak perguruan tinggi di Indonesia yang hanya menjalankan fungsi transaksional.
"Masuk kuliah, membayar, dan lulus. ITB tidak boleh terpaku di situ. ITB membawa misi transformasional dalam menghadapi masa depan. Dari masa lalu dia membawa tugas sejarah, ke depan dia membawa bangsa ini menghadapi masa depan," tutur Raka dalam keterangannya, Jumat, 25 Oktober 2019.
Pernyataan tersebut disampaikan Raka saat diminta tanggapannya soal sosok calon rektor yang tepat untuk memimpin ITB saat ini. Ia menjelaskan, ITB merupakan salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia dan membawa misi sejarah. Bahkan, Bung Karno pernah sekolah di kampus ini.
Sejumlah pengusaha dan pelaku bisnis sukses pernah menimba ilmu di ITB, sebut saja pengusaha Arifin Panigoro, Budi Sadikin yang membangun Bank Permata dan saat ini menjadi Dirut Inalum, juga ada Achmad Zaky, anak muda pendiri Bukalapak, dan banyak lulusan lainnya yang kini memiliki pengaruh besar menumbuhkan perekonomian Indonesia.
Menurut Raka, misi ITB sebenarnya lebih dari sekadar mengeluarkan lulusan ke dunia kerja, tetapi ada beban dan risiko tanggung jawab yang ia emban. Setidaknya, kata Raka ada empat misi sivitas akademika ITB yang harus dijalankan sebagai perguruan tinggi yakni menjadi pelopor di mana pun dia berada.
Lalu, berjuang untuk kenggulan yaitu mencoba mencapai yang terbaik. "ITB sebagai perguruan tinggi perjuangan, bukan sekadar universitas, tetapi memiliki simbol kejuangan yang mengutamakan kepentingan lebih besar bangsa dan negara dari pada kepentingan sendiri," tuturnya.
Menurut Raka, ITB sudah mampu memenuhi standar global, karena lulusannya bisa bersaing dan diterima di institusi global. Di luar negeri, lulusan ITB tidak kalah dengan lulusan kampus kenamaan lainnya. Namun, tambah Raka, bujet perguruan tinggi di Indonesia sangat terbatas.
Tidak usah jauh-jauh membandingkannya dengan Amerika Serikat, dengan Malaysia atau negara ASEAN lainnya saja, perguruan tinggi Indonesia sudah tertinggal.
"Walau ada potensi untuk standar global, kalau bensinnya saja masih kurang, tentu kalah cepat. Sistem bujet kita belum berpihak pada lembaga riset dan perguruan tinggi," ujar dia.
Terkait hal itulah, menurut Raka, menjadi rektor di perguruan tinggi tidak mudah, apalagi untuk ITB. Hal itu karena ekspektasi pemangku kepentingan yang sangat tinggi seperti bagaimana memenuhi keinginan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dosen, dan sebagainya.
Menurut Raka, perguruan tinggi mirip dunia usaha, dia berkompetisi semakin ketat karena terbuka. Setidaknya ada rumus sederhana agar institusi bisa maju, seorang rektor harus memiliki kemampuan integrasi internal. Perguruan tinggi memiliki sivitas akademika yang isinya orang-orang cerdas dengan komunitas egaliter.
Bagaimana rektor mampu menciptakan komunitas ini solid, bisa bekerja kreatif satu dengan lainnya untuk mencapai prestasi. "Kesulitan dalam komunitas egaliter, semuanya setara. Semua orang merasa pintar, dengan gelar tinggi-tinggi. Jadi ini tantangan rektor, dia harus mampu menjadi fasilitator, sehingga orang-orang yang semuanya merasa pandai bisa bekeja sama," ujar dia.
Untuk diketahui, 10 Bakal Calon Rektor ITB periode 2020-2025 telah terseleksi dan ditetapkan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Ke-10 Bakal Calon Rektor yang terseleksi dan telah ditetapkan dalam Berita Acara MWA ITB ini, akan mengikuti proses lanjut ke tahap III yakni ekspos publik pada 24-25 Oktober 2019. Sidang terbuka Senat Akademik ITB tanggal 26 Oktober 2019, dan pemilihan tiga Calon Rektor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News