Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, Paristiyanti Nurwardhani mengatakan, bahwa pajak memang menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang perlu didukung. Namun faktanya di lapangan, pengenaan pajak pada perguruan tinggi swasta masih dirasakan memberatkan.
Sehingga perlu dilakukan pemilahan, PTS mana saja yang sudah mapan dan bisa dijadikan sebagai objek pajak, dan mana yang belum. Untuk PTS yang masih kesulitan dalam ekonomi ini, kata Paristiyanti, justru seharusnya mendapat bantuan, bahkan pembebasan pajak.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Perlu dilakukan pemilihan dan pemilahan kampus swasta yang mana yang seharusnya menjadi objek pajak dan mana yang tidak,” ujar Paristiyanti dalam dialog “PTS Jadi Objek Pajak, Tepat atau Perlu Revisi?” yang diselenggarakan Universitas YARSI.
Menurut Paristiyanti, jumlah PTS di Indonesia mendominasi dibandingkan dengan PTN. Namun kondisi ratusan bahkan ribuan PTS tersebut pun sangat beragam.
Sebab ada PTS yang keuangannya sudah baik karena memiliki unit bisnis di luar pendidikan, seperti memiliki hotel. Sehingga PTS yang seperti ini dapat dikategorikan layak menjadi objek pajak.
Sebaliknya, masih ada juga PTS yang bahkan belum mapan secara keuangan, karena jumlah mahasiswanya sedikit, sehingga membutuhkan bantuan dari pemerintah. Padahal salah satu pemasukan terbesar PTS tersebut masih dari SPP mahasiswa.
"Yang seperti ini tidak perlu jadi objek pajak, bahkan kalau bisa dibantu," tegas Paristiyanti.
Ia memberikan contoh bagaimana di Amerika Serikat, perguruan tinggi adalah entitas yang bebas pajak. Perguruan tinggi swasta di Amerika Serikat melaporkan internal revenue service atau IRS untuk umum.
“PTS maupun PTN di Amerika Serikat, membayar bentuk pajak lain seperti pajak gaji untuk karyawan. Hal ini sama dengan yang terjadi di Indonesia,” terang dia.
Baca juga: 1.610 Peserta Beasiswa OSC 2021 Masuk Tahap Final Test
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi (APPERTI), Jurnalis Uddin juga mengeluhkan sejumlah pajak yang memberatkan dunia pendidikan. Ia menyebutkan, seperti pajak untuk pembelian alat kesehatan yang digunakan untuk penelitian.
Selain itu juga pajak bumi dan bangunan (PBB), padahal nilai jual objek pajak (NJOP) terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Selanjutnya sisa lebih yang tidak dimanfaatkan selama empat tahun dan berlaku progresif.
Sementara di satu sisi, pihak yayasan sebagai pengelola PTS kesulitan menggunakan sisa lebih karena membutuhkan waktu untuk menabung misalnya untuk pembangunan gedung maupun perluasan lahan.
Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam menambahkan, dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, jasa pendidikan tidak dikenakan pajak alias nol persen. Akan tetapi jasa pendidikan masuk ke dalam objek pajak.
“Konsekuensinya lembaga pendidikan akan dibebani berbagai administrasi perpajakan agar mendapatkan nol persen,” tutup Ecky.