"Bukan hanya sebagai watchdog yang berperan mengawasi, mengevaluasi dan mengingatkan kinerja, mengawasi dan memberi kritikan terhadap siapa pun yang memimpin lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga yang terkait penegakan hukum. Tetapi media juga perlu mengangkat atau merespons isu yang berkembang di dalam masyarakat baik terkait ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan hal lain," ujar Nyarwi dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 10 Februari 2023.
Direktur Eksekutif Indonesiaan Presidential Studies (IPS) itu menuturkan meski selalu dituntut independen, pers sebenarnya wajar memiliki orientasi tertentu atau keberpihakan selama masih dalam koridor kepentingan publik. Artinya, kata dia, untuk kepentingan masyarakat, kinerja-kinerja pers masih mengawal kepentingan publik.
Hal itu bisa dilakukan untuk mengkritisi atau bahkan memberikan masukan pada lingkar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga penegak hukum.
“Mungkin bisa juga dengan mengingatkan masyarakat terkait beberapa hal krusial yang menjadi agenda publik, di mana masyarakat tidak menyadari penuh. Keberpihakan itu harus malah, tetapi yang perlu dijaga adalah profesionalitas dalam bekerja," tutur dia.
Memperingati Hari Pers Nasional, Nyarwi berharap insan media tetap berpegang kuat pada prinsip-prinsip jurnalisme. Dia mendorong pers dalam menjalankan kinerjanya memegang prinsip sebagai pilar keempat demokrasi.
Apalagi, di tengah perkembangan platform digital dan media sosial, pers dituntut profesional membuat cover boothside, verifikasi, mencerna dan menyaring informasi, hingga menghasilkan sebuah sumber berita yang dipercaya (kredibel). Pers juga dituntut membuat berita yang mencerdaskan, mendidik, dan mencerahkan.
“Di tengah perkembangan yang terus terjadi, profesionalitas, dan kapasitas kinerja dari organisasi media menjadi sesuatu yang sangat penting dikembangkan serius," ucap dia.
Nyarwi mengakui media saat ini dihadapkan tantangan-tantangan lain berupa munculnya raksasa digital. Media saat ini begitu sangat tergantung dan dituntut adaptif.
“Media memang harus adaptif, termasuk pekerja media juga harus adaptif terhadap perkembangan komunikasi-komunikasi digital hari ini. Adaptasi ini menentukan seberapa media akan survive baik secara ekonomi politik maupun sosial," papar dia.
Hasil survei IPS 2022 memperlihatkan tingkat kepercayaan masyarakat umum terhadap media mainstream masih lebih tinggi dibandingkan dengan media sosial. Mayoritas publik dalam survei tersebut sangat/cukup percaya pada media formal, TV, radio, dan koran ketimbang media sosial.
Hasil survei menunjukan 74,4 persen masyarakat percaya pada media formal, sementara itu tingkat kepercayaan pada media sosial 12,7 persen. Meskipun, perilaku masyarakat dalam mengakses media mainstream seringkali tidak rampung melalui platform-platform digital.
“Bagaimanapun media mainstream hingga saat ini masih menjadi acuan utama. Adaptasi di sini diperlukan oleh media mainstream karena keberadaan media mainstream boleh dibilang cukup tergantung platform-platform raksasa digital," kata dia.
Pers dalam pemilu dan pilpres
Nyarwi menyebut mengacu periode sebelumnya dalam konteks pemilu dan pilpres, independensi media atau agenda setting media tidak lepas dari orientasi politik dari pemiliknya. Menurutnya ini situasi kurang beruntung karena media-media mainstream besar mayoritas dimiliki orang-orang yang memiliki orientasi politik atau punya lembaga politik seperti partai politik.Misalnya, Media Grup dengan sang pemilik Surya Paloh dan MNC dimiliki Hary Tanoesoedibjo.
Belum lagi, kata dia, Golkar ada Aburizal Bakrie, Berita Satu, dan lain-lain. Artinya, kata dia, peluang pemilik mengintervensi agenda setting media cukup besar.
Peluang cukup besar terjadi, misalnya di tengah situasi politik landscape polarisasi, seperti beberapa periode lalu. Dia mengatakan tanpa polarisasi politik sudah kelihatan, misalnya orientasi keberpihakan atau support baik secara tertutup maupun terbuka, kecenderungan agenda setting media terhadap orientasi politik baik pada pemerintahan yang sedang berkuasa maupun capres-capres yang potensial bertarung.
“Ini berdasar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya tampak nyata dan bisa dirasakan oleh mayoritas banyak orang. Tentu di sana, menjadi tantangan sulit bagi jurnalis, sejauh mana jurnalis, pimpinan media, atau orang-orang profesional di media itu menjaga agenda setting media dan cara kerja media bisa mengelola dinamika prioritas agenda setting maupun informasi politik yang ditampilkan, framing, dan lainnya itu lebih bisa mencerahkan atau mendidik masyarakat," jelas dia.
Nyarwi mengatakan situasi semacam ini sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola, jurnalis, dan pekerja di media. Seorang jurnalis harus selalu diingatkan cara mereka bekerja dengan prinsip-prinsip jurnalis.
Hal lain yang bisa menolong ialah aturan-aturan, misalnya soal regulasi kampanye. Hal semacam itu bisa menolong dan menjaga media pada rel-nya sebagai lembaga independen yang berada di luar kekuasaan yang tugasnya menjaga kepentingan publik.
Ditambah, kata dia, ada UU Pers, UU Penyiaran, dan panduan penyiaran di KPI. Hal-hal itu bisa menjadi panduan cara pers dan penyiaran tidak menyimpang. Regulasi lain ada di UU Pemilu dan pengawasan pemilu. Syarwi berharap dengan regulasi-regulasi semacam itu media tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai propaganda politik atau mobilisasi politik.
"Karena kalau terjadi penyimpangan publik yang dirugikan dan tingkat kepercayaan pada media akan menurun makanya tingkat kepercayaan yang tinggi harus tetap dijaga," tutur dia.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Pers Harus Mampu Berperan Sebagai Pemersatu Bangsa |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News