Namun, tak semua sekolah menerapkan kurikulum yang disederhanakan tersebut. Koordinator Pengembang Kurikulum, Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek Yogi Anggraena menyebut hal itulah yang menjadi salah satu penyebab learning loss.
Dia mengungkapkan jika selama pandemi, masih ada 59,2 persen sekolah yang menjalankan kurikulum 2013 secara penuh. Sementara, yang menggunakan kurikulum 2013 yang disederhanakan sebanyak 31,5 persen dan penyederhanaan kurikulum secara mandiri ada 8,9 persen.
"Sekolah yang pakai opsi satu (kurikulum 2013) itu belum tentu selaras dengan apa yang dicapai oleh siswa, memberikan materi full, tapi yang diperoleh itu sedikit, makanya terjadi kehilangan pembelajaran," kata Yogi dalam webinar guru Pahamify 22 - Paradigma dan Implementasi kurikulum 2022, Jumat, 7 Januari 2022.
Baca: PTM 100% SD dan SMP di Surabaya Dimulai Pekan Depan, Begini Mekanismenya
Menurut dia, menggunakan kurikulum 2013 secara penuh di kondisi pandemi merupakan satu hal yang tidak efektif. Sebab, waktu belajar sudah berkurang, namun materi tetap dipaksa untuk diberikan seolah waktu belajar tidak terbatas seperti masa sebelum pandemi.
"Padahal waktu sudah jauh berkurang dan interaksi berkurang, bukannya siswa paham, malah ini memperparah ketertinggalan siswa kita," sambungnya.
Sedangkan yang menggunakan opsi kedua, yakni kurikulum 2013 yang disederhanakan, capaian belajarannya jauh lebih baik. Para siswa menurutnya mendapat kompetensi yang diharapkan.
"Ini sudah kita teliti pada berbagai karakteristik, jadi bukan kita lakukan hanya kelompok yang memiliki fasilitas tinggi saja. Capaian-capaian yang focus ke esensial raihan pembelajaranya jadi lebih baik," tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id