Dewan Pengawas Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Zumrotin K Susilo mengatakan, perkawinan anak berdampak pada kemiskinan, kematian ibu dan kualitas bayi yang akan dilahirkan dari perkawinan tersebut. "Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga akan mengganggu program wajib belajar 12 tahun," kata Zumrotin dikutip dari Antara, Rabu, 19 September 2018.
Selain itu, pada perkawinan anakjuga rentan terjadi kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Sekaligus merenggut hak anak yang sudah diatur dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Penghapusan perkawinan anak merupakan salah satu indikator Sustainable Development Goals (SDG's), seharusnya tidak sulit dicapai," katanya.
Baca: Mendikbud Minta PPDB Ditiadakan Mulai Tahun Depan
Untuk mencapai penghapusan perkawinan anak, Zumrotin mengatakan perlu komitmen dari berbagai kementerian, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial dan Kementerian Agama.
"Selama ini soal perkawinan, termasuk perkawinan anak, hanya dianggap urusan Kementerian Agama," ujar Zumrotin.
Terdapat 20 provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi daripada angka nasional, yaitu 22,82 persen. Lima provinsi dengan angka prevalensi perkawinan anak terbesar adalah Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan
Sulawesi Tengah (31,91 persen).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News