Dia menyebt ada dua jenis kesenjangan yang terjadi di dalam pendidikan Islam, yaitu kesenjangan paradigmatik dan kesenjangan teknologi. Kesenjangan paradigmatik yakni kesenjangan terkait asumsi-asumsi dasar dari pendidikan itu sendiri.
"Dan yang kedua adalah kesenjangan teknologi, yaitu kesenjangan terkait instrumen-instrumen yang dipergunakan di dalam praktik pendidikan mulai dari model-model organisasi, model manajemen sampai dengan perawatan-perawatan teknis lainnya.” kata Gus Yahya dalam Konsinyering Project Management Unit (PMU) Madrasah Reform dikutip dari laman kemenag.go.id, Selasa, 4 April 2023.
Gus Yahya menjelaskan kesenjangan paradigmatik dalam pendidikan tak terlepas dari peradaban tradisi kultural nusantara yang dipengaruhi penetrasi pendidikan barat yang terjadi pada zaman penjajahan bangsa Eropa di Tanah air. Kesenjangan paradigmatik ini sangat kompleks, tapi kurang lebih bisa dikatakan merupakan akibat dari perubahan-perubahan berskala peradaban yang dialami oleh dunia akibat penetrasi barat.
"Dan mau tidak mau juga menimpa komunitas-komunitas muslim di Indonesia, seperti pembedaan perlakuan antara kaum priyayi dan pribumi,” tutur dia.
Dia menyebut peradaban tradisional yang sudah terlanjur mapan tersebut berlanjut dalam penerapan kurikulum yang konteks dasarnya masih merujuk pada wawasan dari abad pertengahan. Semua itu membekas sedemikian rupa sehingga membuat menghadapi berbagai macam tuntutan masa kini karena bayang-bayang dari paradigma tradisional yang sudah begitu mapan.
“Saya melihat di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, konten pendidikannya, kurikulumnya, bahan ajarnya, itu masih bahan ajar dari abad pertengahan, termasuk proses mengenai persepsi tentang kelompok-kelompok yang berbeda," ujar dia.
Gus Yahya menilai integrasi bangsa harus dipikirkan. Utamanya tentang topik-topik yang relevan terhadap reformasi madrasah dalam menjawab fenomena masyarakat Indonesia yang heterogen.
“Saya berpikir bagaimana madrasah-madrasah ini bisa menerima murid dari agama lain, bagaimana caranya tapi yang jelas bahwa bangsa kita itu butuh satu strategi untuk memperkuat integrasi sosial dari masyarakat kita yang super heterogen ini harus kita pikirkan,” ujar dia.
Dia mempertanyakan sejauh mana bisa melakukan akulturasi bila sekarang anak-anak sejak kecil, sejak dini, sudah dipisah-pisahkan berdasarkan identitas.
"Kalau tua kok disuruh rukun, itu ya susah. Wong dari anak-anak sudah enggak bisa kumpul,” papar dia.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Muhammad Ali Ramdhani, berharap madrasah ke depan mampu menjadi episentrum dari sebuah bangunan peradaban. Dia menyebut madrasah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan janji dari konstitusi bahwa harus hadir mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Tentu panggilan ini bukan sekadar panggilan konstitusi tetapi panggilan yang memang lahir dari keinginan besar kita untuk menciptakan peradaban manusia yang lebih baik khususnya untuk komunitas bangsa Indonesia sehingga madrasah reform ini nantinya mampu menciptakan madrasah-madrasah yang menjadi episentrum dari sebuah bangunan peradaban,” tutur Ramdhani.
Baca juga: Cara Pengajuan Tunjangan Insentif Guru Madrasah non-PNS, Dibuka hingga 7 April |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News