Guru Besar Bidang Ilmu Sastra dan Gender pada Fakultas Ilmu Budaya UGM Prof Wening Udasmor. DOK UGM
Guru Besar Bidang Ilmu Sastra dan Gender pada Fakultas Ilmu Budaya UGM Prof Wening Udasmor. DOK UGM

Guru Besar UGM Nilai Tanpa Disadari Semua Pihak Berperan Mentransmisikan Budaya Kekerasan

Renatha Swasty • 17 Februari 2022 17:10
Jakarta: Prof Wening Udasmor dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sastra dan Gender pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam pengukuhan itu, Wening menyampaikan pidato berjudul Maskulinitas Transformatif: Kekerasan dan Subjek yang Bergerak Dalam Dinamika Sastra dan Budaya.
 
Wening menyampaikan berbagai hal menyangkut kajian sastra Prancis, kajian gender, dan analisis wacana kritis sebagai kajian-kajian yang menjadi perhatiannya selama ini. Dia mencoba tidak berkonsentrasi pada salah satu topik.
 
“Mengingat pidato saya ini juga diakses tidak hanya oleh kalangan akademisi, maka saya pun ingin mengangkat satu isu yang menurut saya lebih kontributif bagi masyarakat luas," ucap Wening dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 17 Februari 2022.

Wening menuturkan melihat berbagai peristiwa kekerasan akhir-akhir ini dengan segala intensitas tentu menjadi persoalan. Sebagai seorang akademisi yang mempelajari sastra, dia melihat semua orang ialah pewaris dari dinasti kekerasan yang narasinya ditransmisikan lewat berbagai cerita, baik oral, tertulis, maupun visual.
 
“Kita adalah pewaris cerita-cerita epik dan kepahlawanan dari berbagai belahan dunia yang hadir dalam memori sejak kanak-kanak. Di mana berbagai narasi budaya, politik, media, serta narasi luas dalam kehidupan kita sehari-hari mencerminkan beroperasinya kekerasan yang seringkali dijadikan mekanisme dalam penyelesaian masalah oleh habitus masyarakat kita," papar Wening.
 
Bahkan, narasi-narasi tersebut dikonsumsi sepanjang hari lewat pesan-pesan virtual dan beredar tanpa batas di media sosial. Subjek-subjek yang mentransmisikan juga kadang ialah mereka yang justru secara sosial dipercaya sebagai pembawa pesan yang diharapkan kontributif. Seperti pamong, politisi, figur publik, atau pemimpin agama.
 
“Kita berada di dalam satu bingkai ruang kekerasan yang menumbuh dalam kerangka berpikir dan dalam praksis kehidupan kita dan narasi-narasi kekerasan tersebut dalam sastra diproduksi dan direproduksi dalam berbagai bentuk," tutur dia.
 
Wening menyebut sebagian dari kita seringkali tidak menyadari kehadiran narasi ini sebagai tindakan toxic (beracun) yang berbahaya. Ketidaksadaran tersebut terjadi karena mekanisme performatif berupa kecenderungan mengulang-ulang skrip kekerasan tanpa mempertanyakan mengapa kita harus mengonsumsinya.
 
“Kita pun seringkali juga menjadi subjek yang turut mentransmisikan budaya kekerasan. Cara-cara kita mempreservasinya juga terfasilitasi oleh produk-produk kapitalisme, seperti telepon seluler yang ada karena kita menciptakan keberadaannya," ujar dia.
 
Wening menyebut narasi-narasi sastra dan budaya dapat berfungsi melalui penarasian berbeda-beda. Dia mengatakan mengenalkan friendly subjects sebagai narasi yang kuat lewat sastra dapat menjadi mekanisme yang berfungsi lebih tahan lama dibandingkan dengan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran dalam berbagai bentuk kekerasan.
 
Narasi itu bisa ditularkan berbagai lini media, sistem-sistem pendidikan, baik di tingkat sekolah, keluarga, maupun dalam percakapan masyarakat di keseharian.
 
“Tidak ada yang mudah dilakukan apalagi ketika struktur berpikir kita sudah sedemikian dalam mempercayai suatu pola berpikir tertentu. Hal tersebut tentu bukan suatu kemustahilan untuk dilakukan mengingat kita semua memiliki potensi sebagai subjects in process dan transformative subjects," ujar dia.
 
Baca: Pemimpin Pers Disebut Perlu Bersatu Hadapi Rezim Algoritma Media sosial
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan