Plt. Direktur Kemitraan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri, Ditjen Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek. Foto: Medcom.id/Citra Larasati
Plt. Direktur Kemitraan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri, Ditjen Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek. Foto: Medcom.id/Citra Larasati

Wawancara Khusus Plt. Direktur Mitras DUDI, Uuf Brajawidagda

HUT ke-78 RI, Momentum Memberi 'Panggung' pada 'Anak Vokasi'

Citra Larasati • 17 Agustus 2023 15:58
Jakarta: Presiden Joko Widodo dalam Pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2023 menyinggung tentang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ditekankan pada beberapa faktor. Mulai dari peningkatan kompetensi guru, hingga penguatan konektivitas antara pendidikan vokasi dengan pasar kerja.
 
Pernyataan Presiden ini semakin memperkuat gerakan memperkuat kemitraan pendidikan vokasi dengan industri yang sudah berjalan belakangan tahun ini. Kali ini, momentum Hari Ulang Tahun ke-78 Republik Indonesia tentu menjadi momentum krusial untuk mengingatkan kembali tentang revitalisasi pendidikan vokasi dan penguatan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
 
Untuk menggali lebih dalam tentang perkembangan kolaborasi pendidikan vokasi dengan pasar kerja dan industri, Medcom.id mewawancarai Plt. Direktur Kemitraan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI), Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Uuf Brajawidagda.

Uuf juga merupakan Direktur Politeknik Negeri Batam (Polibatam), di mana kampus ini menerapkan project based learning. Project Based Learning (PBL) adalah pedagogi yang berpusat pada siswa yang melibatkan pendekatan kelas dinamis di mana diyakini bahwa siswa memperoleh pengetahuan yang lebih dalam eksplorasi aktif terhadap tantangan dan masalah dunia nyata. Berikut wawancaranya:

Bagaimana perkembangan vokasi terkini, apakah sudah on the track?

Vokasi ini kan mulai mendapat perhatian serius beberapa tahun belakangan ini. Mulai dari SMK, terus muncul Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Perhatian dari pemerintah untuk vokasi memang luar biasa. 

Kemudian dampak dari perhatian tersebut mulai terwujud. Jika melihat passion anak-anak juga berbeda-beda, latar belakang juga berbeda-beda, sebenarnya pendidikan vokasi ini pas untuk keragaman passion dan latar belakang anak-anak tersebut.
 
Kemudian jika kita melihat pengalaman dari negara maju, justru pendidikan vokasinya diperkuat. Singapura contohnya, ada 5 politeknik yang ada di sana.  Pengalaman negara maju itu yang dikuatkan justru pendidikan vokasinya
 
Saya kira sekarang ini pemerintah sudah di track yang pas memberikan perhatian pada vokasi. Cuma challenge-nya negara maju dan Indonesia itu memang berbeda. Kita dari Sabang sampai Merauke itu berbeda-beda betul. Saya pikir semangatnya sudah dapat.
 
Kedua, karena ada variasi itu, yang perlu kita lakukan itu memberi 'panggung' pada anak-anak kita. Saya percaya setiap anak itu matters, memiliki bakat. Ini sekadar cerita, saya dulu dari ITB datang ke sini, ditanya teman saya, saya mengucapkan sesuatu yang saya sesalkan sampai sekarang. Saya menjawab "Garbage in garbage out".
 
Jadi dulu saya berpikir, sesuatu itu pada dasarnya tergantung pada inputnya dan itu hal yang saya sesali sampai sekarang. Pada kenyataannya tidak. Anak-anak itu ternyata perlu kita kasih tempat.
 
Saya punya cerita, mungkin kalau Anda ke manufacturing informatika, itu prodi yang kurang diminati, kurang jadi primadona. Tadinya dan sekarang bidang engineering tidak dilirik di sini dan ini juga terjadi di seluruh dunia. Lebih laris administrasi bisnis. Padahal industri itu butuh.
 
Mungkin ini karena mungkin cara kami menyosialisasikan itu kurang baik, sehingga kurang terdengar dan malah menakut-nakuti. Sehingga kalau kita ukur dengan alat tes kita, yang dulu ada soal UMPTN, kami meniru seleksinya pakai itu.
 
Hasilnya, nilai anak-anak hanya seperdelapan dari nilai maksimalnya, ibaratnya 2,5 dari 10.  Tapi ternyata mahasiswa kami yang dengan alat ukur itu (yang nilainya 2,5 dari 100 itu, kalau dikasih kesempatan bisa duduk jadi engineer.
 
Contoh lain, mahasiswa kami pada sebuah kesempatan melakukan presentasi satu panggung dengan mahasiswa-mahasiswa S2. Kemudian tiba giliran ada anak muda tampilannya perlente, pakai kaos dengan jas, pakai jeans, saya pikir orang industri. Dia menyapa dalam bahasa Inggris, cakep sekali.
 
Dari presentasinya menunjukkan dia menguasi konten, menyampaikan materi dengan pede (percaya diri). Ternyata anak yang presentasi itu mahasiswa saya. How come anak yang nilainya "2,5 dari skala 100" itu bisa keren seperti itu.
 
Apa iya kami mengajari anak sampai seperti itu, saya kira tidak, ternyata itu terbentuk di proses magangnya itu. Selama ini, bottom line-nya kita kurang memberikan kesempatan kepada mereka.
 
Kita sering memandang orang dengan alat ukur yang sama. Mungkin saja alat ukur kita kurang bisa meng-capture potensi orang. Ibaratnya kayak gambar ikan, kera, gajah diajak berlomba lari, kan ga seperti itu harusnya konsepnya.
 
Kedua, mahasiswa robot yang juara 3 di Prancis, itu sama juga. Nyatanya ketika dikasih kesempatan mereka itu bisa berkompetisi. Itu semua bukan karena kami para dosen yang hebat, tapi karena kesempatan yang diberikan itu buat mereka bisa. 
 
Kita harus menyadari, ada anak satu berbeda dengan anak yang lain. Ada anak yang hobi main piano waktu SMA dan hobi lainnya. Kurva belajar anak dan kecepatan belajar anak berbeda-beda. Sehingga kesempatan pada anak-anak yangberbeda-beda itu yang pas menurut saya bisa diwujudkan di pendidikan vokasi. 

Apakah keragaman potensi anak itu tidak bisa terakomodir di perguruan tinggi nonvokasi?

Kalau akademik kan ingin berkontribusi pada keilmuan, pengetahuan, memajukan peradaban, tapi kalau vokasi hands on langsung dekat ke aktivitas ekonomi. Jadi kalau negara maju berhasil memanfaatkan bonus demografinya dengan baik, saya kok jadi curiga itu karena mereka genjot pendidikan vokasi saat bonus demografi itu terjadi. 

Jadi menurut Anda, di balik negara-negara maju ada peran pendidikan vokasi?

Di beberapa minggu lalu ada teman dari China datang ke Jakarta, ternyata mereka ada ribuan politeknik di sana, Itu salah satu yang menopang keberhasilan China bisa sampai seperti sekarang ini, di belakangnya ada peran vokasi.
 
Maka itu, Indonesia mumpung masih beberapa tahun ke Indonesia emas, anak-anak yang kita didik sekarang ini di 2045 itu akan menentukan kapabilitas Indonesia untuk bersaing. Mestinya vokasi itu pas.

Seberapa optimistis Anda menilai vokasi dapat membawa Indonesia menjadi negara maju?

Begini, saya itu lulusan ITB, awalnya mindset saya itu akademik banget. Makin ke sini, kayaknya makin vokasi. Jadi mindset saya akademik banget, makin ke sini makin yakin, Indonesia kalau mau kompetisi pendidikan vokasi harus dimajukan. Namun pendidikan vokasi tidak bisa maju sendirian, it takes to two tango. Enggak mungkin pendidikan sendirian mampu mengubah wajah bangsa, pasti butuh stakeholders yang lain seperti industri. 

Penguatan konektivitas vokasi dengan industri seperti apa?

Sekarang kebijakan kita melibatkan industri banget, tapi keterlibatan industri harus disongsong dengan keterlibatan teman-teman pendidikan vokasi. Sekarang banyak contoh baik. 
 
Perkembangan misalnya SMK luar biasa, politeknik juga mulai berbenah. Sekolah vokasi juga mulai bergerak, kursus juga demikian, kebijakan TKDV (Tim Koordinasi Daerah Vokasi) makin sering digaungkan.
 
Dulu orang bingung mulai dari mana, ternyata pergerakan vokasi ini disambut banyak elemen. Saya amati, tapi mungkin pengamatan saya salah, dan pengalaman saya kurang aplicable untuk konteks indonesia.
 
Tapi saya sering ketemu dengan direktur-direktur makin menyadari, gerakan itu ada. Istilahnya better late than never. Ekonomi kita juga tidak bisa disamaratakan juga, tidak bisa di-compare dengan Singapura dan lainnya. Kita banyak didominasi UMKM. Kemudian saya pikir pendidikan vokasi itu yang pas untuk industri kecil dan menengah.
 
Mungkin sekarang banyak produk yang belum standar dan butuh banyak ruang perbaikan, tapi membangun kapabilitas itu memang tidak bisa serta meta. Adopsi teknologi juga tidak bisa serta merta menguasai ilmu pembuatan pelan-pelan, mungkin kualitasnya belum baik, tapi perlahan pasti membaik. 

Membawahi Mitra DUDI, bagaimana strategi Anda membangun kemitraan yang sinergis dengan stakeholders?

Betul, sinergitas itu penting. Jadi kita menugasi ada 20 satuan pendidikan untuk mereka menjadi salah satu motor untuk bersama-sama pemerintah dan pemangku kepentingan mendefinsikan agenda ke depan, agar tidak lagi ada mismatch. 
 
Misal, Pemda ingin mengembangkan pertanian kita arahnya pariwisata. Pemda ingin logistik tapi kita ke kesehatan. Sehingga, dari direktorat Mitras DUDI ada penguatan ekosistem kemitraan.
 
Kemarin saya menghadap sekda provinsi. Di daerah harus ada yang memulai. Politeknik hidup di Batam, pabrik di Batam, kita jarang menyepakati agenda daerah. 
 
Karena itu, program ini mau ada, Batam salah satu yang ditugaskan untuk melayani Kepri. Kepri kan geaografisnya challenging. Ada beberapa politeknik yang digandeng. Kita rangkul untuk menanyakan bersama-sama agenda pemda. Sehingga kita bisa menuntaskan itu secara bersama-sama.
 
Lebih baik kita bersama-sama duduk dengan pemangku kepentingan. Ke depan apa yang perlu kita siapkan nih? Misalnya, Batam sebagai Free Trade Zone (FTZ) mau dikembangkan untuk industri solar panel mulai dari pasir kuarsa hingga panel surya. 
 
Terus job-job yang ada di situ, ada apa saja kita kan musti petakan dari sekarang. Kan kita butuh waktu. Kadang teknologi baru kita belum familiar. 
 
Misalnya, smelter nikel. Itu kan mesti didefinisikan bersama pemangku kepentingan daerah. Batam ini kan FTZ juga ada KEK, mau di kemanakan? Inginnya ada banyak investor masuk ke situ.

Makna HUT ke-78 RI bagi vokasi seperti apa?

Ini saatnya, momentum yang tepat kita untuk memberikan kesempatan pada anak-anak dengan cara memberikan perhatian lebih pada pendidikan vokasi. Saya mendapati banyak mutiara yang tidak tersaring dengan alat-alat tes itu (seleksi nasional masuk perguruan tinggi). 
 
Jadi ada cerita juga, ada mahasiswa kami yang tadinya kena DO sekarang malah jadi manager. Waktu itu, dulu kami kan masih saklek di tahun-tahun 2003. Kami mengembangkan kurikulum di sana, di mana magang itu penting. 
 
Mahasiswa yang akan magang kami bagi ke dalam beberapa kelompok. Grup A magang dulu di semester 5, sisanya ngerjain project di kampus. Dilalahnya ada anak magang, kemudian industrinya cocok, terus direkrut.
 
Industri kan mana lihat ijazah, kalau cocok ngerjain kerjaan yang mereka kasih, ya udah direkrut. Nah kami orang-orang pongah ini ketika ditanya menjawab "Terserah Anda mau kerja di sana atau kembali ke kampus dan mengerjakan TA (tugas akhir)," kata Uuf kala itu.
 
Ya pasti mahasiswa kami itu memilih sana. Karena kuliah pun niatnya kerja dan memang anak-anak kita ini kan bukan anak-anak orang kaya yang punya banyak pilihan. Bisa sustain saja sudah bagus, ada kesempatan kerja ya sudah bagus. Akhirnya saya DO anak itu di semester 5 dan itu jadi keputusan yang saya sesalkan.

Pesan apa yang Anda petik dari pengalaman itu?

Saya pribadi enggak ingin itu terjadi lagi. Mbok harusnya anak-anak dikasih kesempatan.  Industri kan tempat belajar juga. Fleksibilitas itu dibutuhkan saat kita berada di vokasi. Bagaimana agar mahasiswa mengekspos betul dunia kerja. Ada mobilitas pertukaran orang mestinya hubungan kita seperti itu, industri jadi tempat belajar, dan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. 

Apakah kebijakan vokasi yang sekarang sudah cukup memfasilitasi itu?

Kalau sekarang, sudah difasilitasi betul. Di Merdeka Belajar Kampus Merdeka itu ada Studi Independen, Praktisi Mengajar, dan itu pas banget dengan vokasi. Harusnya sekarang jadi lebih cepat pergerakannya. Anak-anak saya kalau semester dua sudah dilirik industri, kami kasih saja sejak saat itu.
 
Bahkan kini di Polibatam kami buka kelas karyawan, anaknya kerja siang, kuliah malam hari. Mahasiswa cuti biasanya kan hilang, kalau mereka mau kerja kita fasilitasi. 

Bagaimana peran Project Based Learning dalam mempercepat konektivitas vokasi dan industri?

PBL itu betul-betul mengubah mindset dan cara pandang kita terhadap pembelajaran. Belajar itu yang penting anaknya belajar, bukan semata dosennya mengajar. Karena dosen mengajar tidak mesti membuat anaknya belajar. Ada yang anaknya tidur di pojokan, tapi sekarang ini yang penting anaknya belajar, caranya bisa macam-macam.
 
Sekarang lagi diendorse betul belajar dengan cara-cara yang lain, bisa di industri maupun di masyarakat. Kebijakan sekarang itu kalau saya lihat vokasi banget. 
 
Di sini dosen cukup jadi resources yang dapat diakses anak-anak. Biarkan anak-anak belajar. ternyata dengan cara seperti itu, cara belajar anak jadi lebih ngebut. Kalau dosen ceramah di kelas itu, anak-anak yang daya tangkapnya kurang cepat akan ketinggalan. 

Apakah model belajar di Polibatam ini dipraktikkan politeknik lain?

Saya lihat mulai ada gerakan. Kami sendiri mulai fleksibel itu lima tahun terakhir. Kami selalu terbuka jika mau diadopsi kampus-kampus lain. Seperti politeknik di Ketapang, PNJ (Politeknik Negeri Jakarta) juga lagi belajar hal yang sama dengan kita. Ini lagi jadi gerakan. PBL-nya baru-baru. 

Apakah model Project Based Learning ini juga diterapkan di negara lain?

Singapura itu sudah lama menerapkan PBL, tapi mereka tetap amaze dengan cara kita menerapkan PBL. Di mana tingkat 2 kami jadikan satu kelompok dengan anak tingkat satu. kalau di kami itu anak tingkat satu digabung dengan anak tingkat 2 dan 3.
 
Kalau tingkat 4 tidak gabung karena ada di indutri. Kemudian juga digabung dengan prodi yang lain. Kenapa kami berusaha ada gabungan itu agar mereka bisa saling mengajari, tutor sebaya. Kami enggak ingin anak-anak itu seperti kacamata kuda.
 
Misal memahami akuntansi saja tanpa memahami konteks. Jadi inginnya akuntansi industri apa? animasi? Ya berarti akuntansinya akuntansi animasi. Mau kerja di manufaktur ya akuntansinya akuntansi manufaktur. Ilmu sekarang enggak lurus seperti dulu. Meski cara kami menge-mix seperti itu agak capek melaksanakannya, karena ada administrasi akademik dan proyek.  Tapi tidak apa-apa.
 
Baca juga:  Pagelaran Vokasi 2023 Polibatam Pamerkan Karya-Karya Project Based Learning

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan